Sejarah asuransi syariah dipetakan dalam beberapa periode, yaitu primitif, sebelum masehi, pertengahan, pra-Islam dan Islam, kolonial, dan modern hingga sekarang. Uraiannya adalah sebagai berikut:
Sebelum Masehi
Kemudia dalam literatur yang lain disebutkan, bahwa Ali menggambarkan konsep asuransi sudah dikenal sejak zaman sebelum Masehi. Sebagaimana contoh cerita yang terekam dalam al-Qur’an sebagai berikut:[21]
Kemudia dalam literatur yang lain disebutkan, bahwa Ali menggambarkan konsep asuransi sudah dikenal sejak zaman sebelum Masehi. Sebagaimana contoh cerita yang terekam dalam al-Qur’an sebagai berikut:[21]
(42)
Dan Yusuf berkata kepada orang yang diketahuinya akan selamat diantara mereka
berdua: "Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu." Maka syaitan
menjadikan Dia lupa menerangkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya. karena itu
tetaplah Dia (Yusuf) dalam penjara beberapa tahun lamanya. (43) Raja berkata
(kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya): "Sesungguhnya aku bermimpi
melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi
betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir
lainnya yang kering."
Hai orang-orang yang terkemuka: "Terangkanlah kepadaku tentang ta'bir mimpiku itu jika kamu dapat mena'birkan mimpi." (44) Mereka menjawab: "(Itu) adalah mimpi-mimpi yang kosong dan Kami sekali-kali tidak tahu menta'birkan mimpi itu." (45) Dan berkatalah orang yang selamat diantara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya: "Aku akan memberitakan kepadamu tentang (orang yang pandai) mena'birkan mimpi itu, Maka utuslah aku (kepadanya)." (46) (setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf Dia berseru):
"Yusuf, Hai orang yang Amat dipercaya, Terangkanlah kepada Kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya." (47)
Yusuf berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; Maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. (48) Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang Amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. (49) Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur."
Hai orang-orang yang terkemuka: "Terangkanlah kepadaku tentang ta'bir mimpiku itu jika kamu dapat mena'birkan mimpi." (44) Mereka menjawab: "(Itu) adalah mimpi-mimpi yang kosong dan Kami sekali-kali tidak tahu menta'birkan mimpi itu." (45) Dan berkatalah orang yang selamat diantara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya: "Aku akan memberitakan kepadamu tentang (orang yang pandai) mena'birkan mimpi itu, Maka utuslah aku (kepadanya)." (46) (setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf Dia berseru):
"Yusuf, Hai orang yang Amat dipercaya, Terangkanlah kepada Kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya." (47)
Yusuf berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; Maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. (48) Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang Amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. (49) Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur."
Pada tahun 200 SM para saudagar dan aktor di Italia membentuk suatu collegin tennirium, semacam lembaga lembaga asuransi yang bertujuan membantu para janda dan anak-anak yatim. Pada zaman Alexander Agung (336-323 SM) disinyalir ada juga usaha manusia yang asuransi, yaitu upaya dari beberapa Kotapraja untuk mengisi kasnya dengan meminjamkan uang dari perserorangan dengan syarat-syarat tertentu.
Pertengahan Ali menggambarkan, perkembangan asuransi pada zaman pertengahan. Muncul praktik asuransi di Exeter wilayah Negeri Inggris, yang pada waktu itu ada perkumpulan orang-orang yang mempunyai kesamaan bidang pekerjaannya seperti tukang roti, tukang kayu, dan tukang batu, kemudian disebut dengan “gilde”. Nampak kebiasaan dari kegiatan anggota “gilde”, mereka membuat kesepakatan dengan mengumpulkan uang dari anggotanya, dan menyalurkannya dana mereka bila mana rumah salah satu dari anggota “gilde” terbakar, maka akan mendapatkan uang dari dana “gilde” tersebut. Penjelasan diatas menjelaskan bahwa asuransi bukan merupakan suatu hal yang baru dalam asuransi konvensional maupun asuransi syariah. Melainkan disinyalir sudah ada praktik yang dianggap mirip dengan asuransi.[23]
4. Pra-Islam dan Pasca Islam
Ali
menjelaskan, di Jazirah Arab yaitu pada zaman pra-Islam. Budaya Arab yang dikenal
dengan istilah “aqilah”, merupakan budaya yang terjadi pada suku Arab
kuno. Jika seseorang anggota suku membunuh seseorang anggota suku lain, maka
ada keharusan keluarga yang membunuh untuk memberikan sejumlah uang kepada
keluarga korban. Praktik ini, jika dikaitkan dengan konteks kekinian mempunyai
kemiripan dengan praktik asuransi jiwa, adanya dana santunan kepada keluarga
korban.
Pada periode Islam yaitu awal penanggalan Hijriah atau bertepatan dengan abad ke-7 M. terpengaruhi oleh budaya sebelumnya. Nampaknya ada budaya oleh Islam ditolak secara sepenuuhnya (seperti riba), ada budaya yang diadopsi tetapi diperbaruhi dengan nilai dasar syariah (seperti pembagian harta waris), dan budaya yang diadopsi karena tidak bertentangan dengan prinsip dasar syariah (seperti diyat). Ali menguraikan praktik asuransi berawal dari konsep “aqilah” Arab kuno, di kaitkan dengan membayar diyat. Hadis tentang ‘aqilah diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
Pada periode Islam yaitu awal penanggalan Hijriah atau bertepatan dengan abad ke-7 M. terpengaruhi oleh budaya sebelumnya. Nampaknya ada budaya oleh Islam ditolak secara sepenuuhnya (seperti riba), ada budaya yang diadopsi tetapi diperbaruhi dengan nilai dasar syariah (seperti pembagian harta waris), dan budaya yang diadopsi karena tidak bertentangan dengan prinsip dasar syariah (seperti diyat). Ali menguraikan praktik asuransi berawal dari konsep “aqilah” Arab kuno, di kaitkan dengan membayar diyat. Hadis tentang ‘aqilah diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
“berselisih
dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanita tersebut melempar
batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut
beserta janin yang dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal
tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah saw. maka Rasulullah
saw memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin tersebut dengan
pembebasan seorang budak laki-laki atau perempuan, dan memutuskan ganti rugi
kematian wanita tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh
aqilah-nya (kerabat dari orang tua laki-laki)”.
Adanya
kewajiban oleh keluarga pembunuh untuk membayar diyat kepada keluarga
korban yang terbunuh. Istilah diyat ini disinyalir juga praktinya mirip dengan
asuransi. Menurut Rasjid definisi diyat adalah “denda pengganti jiwa
yang tidak berlaku atau tidak dilakukan padanya hukum bunuh.” Sebagaimana sabda
Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh Tirmizi,
“barang
siapa membunuh orang dengan sengaja, ia diserahka kepada keluarga terbunuh.
Mereka boleh membunuhnya atau menarik denda, yaitu 3o ekor unta betina umur
tiga msuk empat tahun, 30 ekor unta betina umur empat masuk lima tahun, 40 ekor
unta betina yang sudah bunting.”
Diyat
seorang perempuan adalah seperdua dari diyat laki-laki, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Amir Ibn Hazm bahwa Rasulullah saw. bersabda:[26]
“Denda
perempuan seperdua dari laki-laki.”
Menurut Anshori bahwa Piagam Madinah memuat tentang ketentuan kaum mukminin tidak boleh membiarkan kaum mukminin jika ada seseorang mukmin berada dalam kesulitan memnuhi kewajiban membayar diyat atau tebusan tawanan. Bunyi hadis tentang piagam madinah adalah sebagai berikut:
“dengan
nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini adalah piagam dari
Muhammad, NAbi SAW. di kalangan mukminin dan muslimin (yang bersal) dari
Quraisy dan Yastrib, dan orang yang mengakui mereka, menggabungkan diri dan
bersama mereka. Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari (komunitas) manusia
yang lain. Kaum Muhajirin dari Quraisy sesuai keadaan (kebiasaa) mereka, bahu
membahu membayar tebusan tawanan dengan cara yang adil di antara mukminin.”
Hadis tentang anjuran menghilangkan kesulitan seseorang diriwayatkan oleh Abu Hurairah;
“Nabi
Muhammad saw bersabda: barang siapa menghilangkan kesulitan duniawinya
seseorang mukmin, maka Allah akan menghilangkan kesulitan pada hari kiamat.
Barang siapa yang mempermudah kesulitan seseorang maka Allah akan mempermudah
urusannya di dunia dan akhirat.”
Hadis
tentang anjuran meninggalkan ahli waris dalam keadaan kaya, yang diriwayatkan
oleh Amin bin Sa’ad bin Abi Waqasy, bahwa Rasulullah saw bersabda
“lebih
baik jika engkau meninggalkan anak-anak kamu (ahli waris) dalam keadaan kaya
raya, daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin (kelaparan) yang
meminta-minta kepada manusia lainnya.”
Hadis
tentang menghindari resiko diriwayatkan dari Anas bin Malik bertanya kepada
Rasulullah saw. tentang untanya
“apa
(unta) ini saya ikat saja atau langsung saya bertawakal pada (Allah SWT)?
Bersabda Rasulullah saw.: Pertama ikatlah unta itu kemudian bertawakallah
kepada Allah SWT.”
Selanjutnya
menurut Anshori bahwa sosok Umar ibn Khattab adalah orang yang pertama kali
mengeluarkan perintah dalam menyiapkan daftar secara professional. Praktik
pembayaran ganti rugi sebagai mana Umar ibn Khattab telah berkata:
“orang-orang
yang namanya tercantum dalam diwan tersebut berhak menerima bantuan dari satu
sama lain dan harus menyumbang untuk pembayaran hukuman (ganti rugi) atas
pembunuhan (tidak sengaja) yang dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat
mereka.”
5.
Kolonial
a) Periode kolonial Belanda sampai pada tahun 1942,
ditandai dengan munculnya maskapai-maskapai yang tercatat dalam sejarah
asuransi jiwa di Indonesia waktu itu mencapai 36 buah buah yang menyebar di
kota-kota seperti, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya.
b) Periode kolonial Jepang dari tahun 1942 – 17
Agustus 1945, banyak maskapai yang gulung tikar yang menunjukkan bahwa periode
ini, hampir tidak ada perkembangan asuransi yang signifikan.
6.
Modern Hingga Sekarang
Ali
menggambarkan fase modern bisnis asuransi, William Gibbon adalah seorang yang memperkenalkan
praktik asuransi dalam instrument perusahaan yang lebih teratur dan tertata
lebih baik pada zaman itu. Gibbon merupakan seorang berkewarganegaraan Inggris.
Dan Gibbon memperkenalkan praktik asuransi dalam instrument perusahaan tersebut
pada tahun 1870 atau paruh kedua abad ke-19 Masehi. Pada paruh kedua abad ke-20
Masehi, Ali menggambarkan kodisi negara-negara di Timur Tengah dan Afirka mulai
muncul mempraktikkan asuransi syariah atau takaful
Perkembangan
asuransi di Indonesia menurut Ali Era Kemerdekaan sampai tahun 1960an, ada
beberapa perusahaan asuransi mulai mucul dan dipengaruhi oleh periode penjajahan
Belanda. Misalnya perusahaan asuransi Boemi Poetra, dan Dharma Nasional (1954)
bergabung ke PT (persero), Asuransi Jiwasraya Iman Adi (1961), Djamina (1962),
Sukma Sedjati (1962), dan Affan (1964).
Menurut
Ali, Sejarah Asuransi Syariah di Indonesia diawali dengan PT. Syarikat Takaful
Indonesia (PT. STI.) sebagai holding company dengan mendirikan dua anak
perusahaan pada tanggal 24 Febuari 1994 yaitu PT. Asuransi Takaful Umum (general
Insurance), dan PT. Asuransi Takaful Keluarga (life insurance).
Asuransi Syariah pertama di Indonesia adalah PT. Asuransi Takaful Keluarga,
yang didirikannya oleh Pembentuk Takaful Indonesia (TEPATI) yang dipelopori
oleh ICMI melalui yayasan Andi bangsi, Bank Muamalat Indonesia, Asuransi Jiwa
Tugu Mandiri, Pejabat dari Departemen Keuangan, dan Pengusaha Muslim Indonesia.
PT. Asuransi Takaful Keluarga diresmikan oleh Menteri Keuangan dengan Sk.
Menkeu. Nomor keputusan 385/KMK.017/1994 pada tanggal 25 Agustus 1994
ASPEK-ASPEK SYARIAH DALAM ASURANSI SYARIAH
Ada
beberapa aspek syariah dalam asuransi syariah, yang terletak pada, konsep,
asal-usul, sumber hukum, tidak ada unsur maisir, gharar, dan riba,
Dewan Pengawas Syariah, akad, risk sharing,pengelolaan dana, investasi
dana, kepemilikan dana, unsur premi, kontribusi biaya (loading), sumber
pembayaran klaim, sistem akuntansi,profit (keuntungan), dan Misi dan Visi.
Dari
beberapa aspek diatas penulis akan menguraikan secara singkat yang itu berbeda
dengan asuransi syariah. Dan disini lebbih focus membahasa aspek syariah dalam
asuransi syariah sebagai berikut:
KONSEP
Menurut
Sula, bahwa konsep asuransi syariah ialah “suatu konsep di mana terjadi saling
memikul resiko di antara sesame peserta. Sehingga, antara satu dengan yang
lainnya menjadi penanggung atas risiko yang muncul.”
Menurut
penulis bahwa di dalam al-Qur’an, terdapat beberapa konsep yang mendasari
asuransi syariah, yaitu, adanya anjuran menyiapkan masa depan,perintah untuk saling tolong menolong dan bekerja sama,
melarang riba,
melarang maisir,
melarang memakan dengan cara batil
perintah Allah swt. untuk bertawakal dan optimis dalam bertawakal,perhargaan Allah swt. terhadap perbuatan mulia yang dilakukaan manusia,
ASAL-USUL
Pada
pembahasan tentang sejarah asuransi pada zaman pra-Islam atau Arab kuno di atas
dijelaskan bahwa praktik asuransi syariah yang mirip dengan asuransi jiwa
syariah, yaitu “’aqilah”. Apabila seseorang anggota suku membunuh
seseorang anggota suku lain, maka ada keharusan keluarga dari yang membunuh
untuk memberikan sejumlah uang kepada keluarga korban sebagai bentuk kompensasi
(diyat).
SUMBER HUKUM
Dalam
sember hukum dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu sumber hukum normative, dan
sumber hukum positif.
1.
Sumber hukum normatif
Sumber
ajaran sekaligus hukum Islam adalah al-Qur’an, penjelasan, praktik, dan ucapan
rasul dari nash disebut dengan sunnah. Sumber hukum Islam yang
kedua adalah hadis, merupakan perkataan, tindakan Nabi Muhammad saw. dan
sumber hukum Islam yang ketiga ijtihad (fatwa sahabat, ijma’, qiyas,
dan istihsan).
Sumber hukum positif
Asuransi
syariah di Indonesia landasan hukumnnya adalah sebagai berikut;
Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian,
Keputusan Menteri Keuangan Nomor
422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi
c
Keputusan Menteri Keuangan Nomor
426/KMK.06/2003 tentang perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi,
Keputusan Menteri Keuangan Nomor
424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi,
Fatwa DSN Nomor 21/DSN-MUI/X/2001
tantang Pedoman Umum Asuransi Syariah,
f.
Fatwa DSN Nomor 22/DSN-MUI/X/2002
tentang Asuransi Haji,
Fatwa DSN Nomor
51/DSN-MUI/III/2006 tentang Mudharabah Mustarakah pada Asuransi Syariah, dan
Fatwa DSN Nomor 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Tabarru’ pada Asuransi Syariah.
Fatwa DSN Nomor 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Tabarru’ pada Asuransi Syariah.
LARANGAN
RIBA, GHARAR, DAN MAISIR
Pendapat
Rasjid, bahwa riba adalah “akad yang terjadi dengan penukaran yang
tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara’, atau
terlambat menerimanya.”[42]
Di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa riba hukumnya haram.[43]
Menurut Rasjid, haram adalah larangan keras. apabila dikerjakan berdosa, dan
jika ditinggalkan mendapatkan pahala hukumnya.[44]
Maisir
(perjudian) perbuatan yang di larang keras dalam al-Qur’an dan tidak dibenarkan
melakukannya. Maisir (judi) juga dikaitkan suatu perbuatan lebih dekat
dengan perbuatan syaitan. [45]
Menurut
Mirakhor dan Iqbal, riba, gharar, dan maisir adalah[46]
Prohibition
of riba, a term literally, meaning “an excess” and interpreted as “any
unjustifiable increase of capital whether in loan or sales,” is the center
tenet of the system. More precisely, any positive, fixed, predetermined rated
tied to the maturity and the amount of principal (that is, guaranteed
regardless of the performance of the investment) is considered riba and is
prohibited. The general consensus among Islam scholars is that riba covers not
only usury but also the charging of “interest” as widely practiced. A direct
implication of prohibition of interest is prohibition of pure debt security with
a predetermined interest rate.
This
prohibition is based on arguments of social justice, equality, and property
rights. Islam encourages the earning of profits but forbids the charging of
interest because profits, determined ex post, symbolized successful
entrepreneurship and creation of additional wealth, whereas interest,
determined ex ante, is cost that is accrued irrespective of outcome of business
losses. Social justice demands that borrowers and leaders shared rewards as well
as losses in an equitable fashion, and that the process of wealth accumulation
and distribution in the economy be fair and representative of true
productivity.
prohibition
of speculative behavior, An Islamic financial system discourages hoarding and
prohibits transactions featuring extreme uncertainties, gambling, and risks.
Sanctity
of contracts and preservation of property rights. Islam upholds contractual
obligations and the disclosure of information as a sacred duty. This feature is
intended to reduce the risk of asymmetric information and moral hazard. Islam
places great importance on preservation of property rights; defines a balance
between the rights of individuals, society, and the state; strongly prohibits
encroachment of anyone’s property right.
Asuransi
syariah agar bebas dari riba, maisir, dan gharar,
diperlukan pergantian sistem dan operasionalnya. Yakni memasukkan instrumen
syariah ke dalam sistem dan operasionalnya. Misalnya mudharabah, wadiah,
wakalah, tijarah, hibbah, mustarakah, dan sebagainya.
DEWAN
PENGAWAS SYARIAH
Dewan
pengurus syariah adalah badan yang ada di lembaga keuangan syariah dan bertugas
mengawasi pelaksanaan keputusan DSN di lembaga keuangan syariah. Dewan pengurus
syariah diangkat melalui RUPS setelah mendapatkan rekomendasi dari DSN.[47]
Adanya DPS setidaknya berperan aktif dalam pengawasan terhadapa perusahaan
asuransi syariah agar menjalankan kegiatannya sesuai fungsi DPS dan menjaga
nilai syariah.
Fungsi
DPS adalah[48]
a)
DPS melakukan secara peiodik pada
lembaga keuangan syariah yang berada di bawah pengawasannya.
b)
DPS berkewajiban mengajukan
usul-usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada pimpinan lembaga yang
bersangkutan dan kepada DSN.
c)
DPS melaporkan perkembangan
produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada DSN
sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran
d)
DPS merumuskan
permasalahan-permasalahan yang memerlukan pembahasan-pembahasan DSN.
AKAD
Untuk
memahami itilah akad, penulis meminjam istilah akad di Undang-undang Perbankan
Syariah no 21 tahun 2008, bahwa “akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank
Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi
masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah.”[49]
Jika
dikaitkan dengan asuransi syariah, akad merupakan kesepakatan tertulis antara
perusahaan asuransi dan pihak lain yang didalam kesepakatan tersebut memuat
adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip
syariah. Akad ini yang dimaksud adalah tidak mengandung gharar, maisyir
(perjudian), riba, zulm (penganiayaan), rswah (suap),
barang haram dan maksiat. Di dalam asuransi syariah ada dua macam akad, yaitu
akad tijarah dan akad tabarru’. [50]
Di
dalam fatwa DSN MUI juga dijelaskan definisi akad tijarah dan tabarru’.
Akad tijarah adalah “semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan
komersial”. Dan akad tabarru’ adalah “semua bentuk akad yang
dilakukan untuk tujuan kebajikan dan tolong menolong, bukan semata-mata untuk
tujuan komersial.”[51]
Akad yang dimaksud akad tijarah dan tabarru’. Adalah, akad tijarah
adalah mudharabah, dan akad tabarru’ adalah hibah.[52]
Kemudian
di dalam akad tersebut setidaknya dan sekurang-kurangnya menyebutkan:[53]
a)
Hak dan kewajiban peserta dan
perusahaan
b)
Cara dan waktu pembayaran premi.
c)
Jenis akad tijarah
dan/atau tabarru’ dan syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan akad
asuransi yang diakadkan
Kedudukan para pihak dalam akad tijarah dan tabarru’ adalah
pertama, dalam akad tijarah (mudharabah) perusahaan bertindak
sebagai pengelola (mudharib) dan peserta sebagai pemegang polis (shahibul
mal). Kedua, dalam akad tabarru’ (hibah) peserta memberikan hibah
yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan
perusahaan sebagai pengelola dana hibah.[54]
RISK
SHARING
Hubungan
antara peserta dengan perusahaan di asuransi syariah adalah risk sharing.
Risk sharing merupakan saling menanggung risiko, bahwa jika ada sesorang
diantara anggota asuransi syariah terkenah musiba, maka semua anggota saling
menanggung anggota tersebut.
Keuangan
Islam menggunakan mekanisme risk sharing, termasuk di dalamnya asuransi
syariah, yaitu membagi kerugian dan keuntungan. Menurut Mirakhor tentang
risk sharing adalah[55]
“Because
interest is prohibited, pure debt security is elimeneted from the system and
therefore suppliers of funds become investors instead of creditor. The provider
of financial capital and the entrepreneur share business risks in return for
shares of the profits and losses.”
PENGELOLAAN
DANA
Perusahaan
asuransi syariah dilarang mengelola dananya yang bertentangan dengan syariah.
Misalnya dana yang terkumpul dari perusahaan asuransi syariah dikelolakan ke
perusahaan minuman keras (khamar), hal ini bertentangan dengan syariah,
sebab khamar diharamkan dalam al-Qur’an. Di dalam fatwa DSN bahwa
asuransi syariah dalam kegiatannya diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah.
Asuransi syariah tidak boleh mengelola dananya dengan cara baik yang mengandung
dari unsur-unsur seperti, gharar (penipuan), maisyir (perjudian),
riba, zulm (penganiayaan), riswah (suap), barang haram dan
maksiat. [56]
INVESTASI
DANA
Investasi
dana tujuannya dalah baik, sehingga secara ekonomi dana berpotensi berkembang.
Akan tetapi jika dalam investasi dana tersebut prosesnya dengan cara tidak
halal, maka hasilnya yang didapat juga haram. Mengacu pada fatwa DSN no.
21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman Umum Asuransi Syariah, bahwa “perusahaan
selaku pemegang kekuasaan wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul.”
Dan “investasi wajib dilakukan sesuai syariah.” [57]Di
dalam al-Qur’an juga dijelaskan tentang memakan harta dari jalan yang baik,
bukan dari jalan yang batil.[58]
KEPEMILIKAN
DANA
Islam
mengenal kepemilikan harta, akan tetapi didapatkan dengan jalan yang benar.
Dalam konteks asuransi syariah juga mengenal adanya kepemilikan dana. Bahwa, di
dalam asuransi syariah, peserta asuransi disebut sebagai shahibul mal
(pemegang polis), dan perusahaan disebut sebagai mudharib (pengelola).[59]
Perusahan mempunya tanggungjawab atau memegang amanah dan implementasi dari
keadilan.
UNSUR
PREMI
Definisi
premi dalam fatwa DSN menjelaskan, bahwa “premi adalah kewajiban peserta
asuransi untuk memberikan sejulah dana kepada perusahaan asuransi sesuai
kesepakatan dalam akad.”[60]
Unsur premi dalam asuransi tidak terdapat unsur bunga, tetapi dengan unsur bagi
hasil atau dikenal dengan nisbah sesuai dengan kesepakatan dalam akad antara
perusahaan dengan peserta asuransi. Misalnya dalam asuransi jiwa akad mudharabah.
KONTRIBUSI
BIAYA (LOADING)
Tidak
ada pembebanan kontribusi biaya atau loading, yaitu komisi yang diberikan
kepada agen asuransi syariah. Mengambil dari iuran dana peserta yang
terkumpul merupakan ketidakadilan. Loading ini diambil dari dana pemegang
saham. Akan tetapi praktiknya loading dari iuran peserta oleh DPS masih
diperbolehkan, yakni dalam jumlah tertentu misalnya sebesar 20-30 persen dari
premi tahun pertama. Ini mungkin mengacu pada kaidah fikih:
“jika
tidak mampu melakukan secara keseluruhan, maka jangan meninggalkan atau tidak
melakukan sama sekali.”
Setidaknya asuransi syariah merupakan asuransi yang murni syariah yang
menjunjung tinggi nialai syariah, adanya nilai tolong-menolong dalam hal
kebajikan. Serta merupakan upaya untuk mendekati, walaupun belum sepenuhnya
berjalan dalam praktik asuransi syariah.
SUMBER PEMBAYARAN KLAIM
Definisi
klaim dalam fatwa DSN adalah “hak peserta asuransi yang wajib diberikan oleh
perusahaan asuransi sesuai kesepakatan dalam akad.”[61]
Dari konsep tolong menolong yang ada dalam al-Qur’an. Misalnya akad mudharabah
pada asuransi jiwa. Bahwa dana yang terkumpul dari semua peserta asuransi, jika
ada salah satu peserta mendapatkan musibah, maka akan mendapatkan dana dari
dana yang terkumpul tersebut. Sesuai dengan akad ketika masuk asuransi syariah.
Sehingga peserta yang terkena musibah tersebut telah diringankan oleh peserta
lain. Jadi sumber pembayaran klaim pada asuransi syariah berasal dari dana yang
terkumpul oleh peserta asuransi syariah.
SISTEM
AKUNTANSI
Menurut
Christoper Napier dalam artikelnya. Islam mempunyai pengaruh dalam perkembangan
dalam akuntansi, adanya standar pelaporan Keuangan Internasional dengan keperluan untuk mempertahankan nilai
dasar Islam.[62]
Begitu juga asuransi syariah yang notabene lembaga keuangan yang berbasis
syariah, yang melakukan transaksi syariah. Ada keharusan dalam pelaporan
keuangan menggunakan akuntansi syariah, sebagai bentuk mempertahankan nilai
syariah.
Asuransi
di tingkat internasional mempunya organisasi, yaitu AAOIFI (accounting and
Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) merupakan organisai
yang mengembangkan akuntansi dan auditing bagi lembaga keuangan syariah di
tingkat dunia. Sedangkan asuransi di tingkat nasional mempunyai organisasi,
yaitu Dewan Standar Akuntansi Indonesia (DSAK) menyusun PSAK Syariah tentang
kerangka dasar penyusunan dan penyajian laporan keuangan syariah. Postulates
disepakati oleh PSAK dan AAOIFI untuk digunakan dalam akuntansi syariah, bahwa
akuntansi syariah mengadopsi dari akuntasi konvensional. Walaupun ada
perdebatan pendapat diantara pemikir Islam, misalnya mengenai konsep entitas
unit akuntansi terbagi menjadi dua teori, proprietary theory, yaitu
dimana kepemilikan terhadap perusahaan tercermin pada ekuitas sehingga
persamaannya adalah aset - kewajiban = ekuitas, dan entity theory, yaitu
dimana pemilik hanya memiliki ha katas sebagian dari kepemilikan perusahaan,
sehingga persamaannya adalah aset = kewajiabn + ekuitas. Pemikiran akuntansi
syariah terus berkembang dan terus menjadi kajian mendalam bagi para ahli
dibidang ilmu akuntansi.[63]
PROFIT
(KEUNTUNGAN)
Adanya
bagi hasil yang di berikan antara perusahaan asuransi dengan peserta asuransi sesuai
dengan akad ketika masuk asuransi syariah. Besar dan kecilnya bagi hasil ini
dipengaruhi oleh kondisi keuangan, yaitu sehat atau tidaknya kondisi keuangan
perusahaan asuransi tersebut. Semakin sehat kondisi keuangannya semakin besar
pula porsi bagi hasilnya. Begitu juga perusahaan dalam kondisi tidak sehat
keuangannya, yang berpotensi kecil juga porsi bagi hasilnya. Bagi hasil disini
yang dimaksud adalah berasal dari keuntungan surplus underwriting,
komisi reasuransi, dan hasil investasi.
MISI
DAN VISI
Asuransi
syariah dapat kita tarik kepada tiga misi, yaitu misi ilahiyah, misi ibadah,
misi ekonomi, misi sosial. Asuransi syariah juga dekat dengan ibadah. Sebab di
dalam Islam mengenal ibadah individu dan ibadah sosial. Ibdah individu
merupakan ibadah yang memiliki pengaruh terhadap individu, dan hanya dapat
dirasakan oleh individu, dan berdampak secara individu yang melakukan ibadah
tersebut. Sedangkan ibadah sosial ini mempunyai dampak sosial, sehingga
individu yang mengerjakan, orang yang ada di sekitarnya juga dapat ikut
merasakan dampaknya. Oleh sebab itu asuransi syariah mengadung unsur ibadah
sosial, sebab individu (pemegang polis) dapat merasakan dampaknya, sekaligus
orang yang ada disekitar (peserta asuransi syariah) juga dapat ikut merasakan.
Sehingga ada dampak ekonomi dan sosial yang timbul dari asuransi
syariah.sehingga ini merupakan pengaruh dari visi misi asuransi syariah. Sebab
asuransi syariah mempunyai visi dan misi ilahiyah, ibadah, ekonomi, dan sosial.
SIMPULAN
Asuransi
syariah mempunyai definisi yang beragam, sehingga definisi asuransi syariah
adalah asuransi yang menjalankan operasional dan sistemnya sesuai dengan
prinsip syariah. Sejarah perkembangan asuransi syariah diawali dari zaman
primitif, sebelum masehi, pertengahan, pra-Islam dan Islam, kolonial, dan
modern hingga sekarang. Aspek syariah dalam asuransi syariah terdapat dalam:
konsep, asal-usul, sumber hukum, larangan maisir, gharar, dan riba,
Dewan Pengawas Syariah, akad, risk sharing,pengelolaan dana, investasi
dana, kepemilikan dana, unsur premi, kontribusi biaya (loading), sumber
pembayaran klaim, sistem akuntansi, profit (keuntungan), dan misi dan visi.
PENUTUP
Dari
uraian diatas bahwa setidaknya kita dapat memahami apa definisi asuransi
syariah, sejarah perkembangan asuransi syariah, dan aspek syariah dalam asurasi
syariah. Sehingga dapat menjadi bahan kajian asuransi syariah, pada kajian
lanjutan misalnya membahas salah satu aspek syariah dalam premi asuransi
syariah secara lebih detail. Sebab menurut penulis disini asuransi syariah
berkembang mengikuti zamannya. Dan perkembangan ilmu asuransi syariah juga ikut
semakin berkembang, dan diharapkan ada penelitian-penelitian lanjutan. Sehingga
dapat menambah khazanah keilmuan kesyariahan.
Dalam
penulisan artikel ini penulis menyadari masih banyak kekurangan dan tidak
sempurna. Sebab kesempurnaan itu hanyalah milik Allah swt. Penulis hanyalah
hamba Allah swt. Dalam penulisan ini berdasarkan intersubjektifitas penulis. Wallahu
a’lam bissawab.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an dan
Terjemahannya
Ali,
AM. Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Prenada
Media, edisi pertama, 2004)
Bakar,
Mohd Daud, Shari’ah Prinsiples Governing Takaful Models, dalam, Simon
Archer, Rifaat Ahmed Abdel Karim, and Volker Nienhaus, Takaful Islamic
Insurance: Concept and Regulatory Issues, (Singapura: John Wiley, 2009)
Christoper
Napier, Other cultures, other accountings? Islamic accounting from past to
present, (Kanada: presented at Accounting History International
Conference, ke-5, 2007)
John
M. Echols, dan Hasan Shadily, An English – Indonesian Dictionary
(Kamus Inggris – Indonesia), (Jakarta: Gramedia, Cetakan ke-8, 1989
Hossein
Askari, Zamir Iqbal, dan Abbas Mirakhor, Globalization and Islamic Finance,
(Siangapura: John Wiley, 2010)
Iqbal,
Muhammad, Asuransi Umum Syariah dalam Praktik, (Jakarta: Gema Insani,
2005),
Muhammad
Syaufiq al-Fajri, al-Islam wa at-Ta’min (Riyadh, 1994),
Muslehuddin,
Muhammad, Insurance and Islamic Law, terj. Burhan Wirasubrata, Menggugat
Asuransi Modern: Mengajukan Suatu Alternatif Baru dalam Perspektif Hukum Islam,
(Jakarta: Penerbit Lentera, 1999)
Muslehiddin,
Muhammad, Insurance in Islami, terj. Wardana, Asuransi dalam Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara, Cet. Ke-3, 2005)
Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, edisi ke-3, 2005)
Rashid,
Sulaiman, Fikih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-40,
2007)
Simon
Archer, Rifaat Ahmed Abdel Karim, dan Volker Nienhaus, Takaful Islamic
Insurance: Concept and Regulator Issues, (Singapura: John Willey &
Sons, 2009).
Sula,
Muhammad Syakir, Asuransi Syariah (life and general); Konsep dan Sistem
Operasional, (Jakarta: Gema Insani, 2004) hal. 26. Lihat dalam Alie Yafie,
Asuransi dalam Pandangan Syariat Islam, Menggugas Fiqh Sosial, (Bandung: Mizan,
1994) hal. 205-206. Lihat juga dalam Emmy Simanjuntak, Hukum Pertanggungan, (Yogyakarta:
UGM, 1982)
Sri
Nurhayati, dan Wasilah, Akuntansi Syariah, (Jakarta: Salemba Empat,
edisi 2 revisi, 2011)
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
Undang-undang
Republik Indonesia No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
Keputusan
Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia tentang Susunan Pengurus DSN-MUI Nomor
Kep.. 98/MUI/III/2001
Fatwa
DSN Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
Fatwa
DSN Nomor 22/DSN-MUI/X/2002 tentang Asuransi Haji
Fatwa
DSN Nomor 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Mudharabah Mustarakah pada Asuransi
Syariah
Fatwa
DSN Nomor 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Tabarru’ pada Asuransi Syariah
[1] Muslehiddin, Muhammad, Insurance in
Islami, terj. Wardana, Asuransi dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
Cet. Ke-3, 2005), hal. 6-10
[3] Ali, AM. Hasan, Asuransi dalam
Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Prenada Media, edisi pertama, 2004), hal.
49-74
[4] John M. Echols, dan Hasan Shadily, An
English – Indonesian Dictionary (Kamus Inggris – Indonesia), (Jakarta:
Gramedia, Cetakan ke-8, 1989), hal. 326.
[5] Sula, Muhammad Syakir, Asuransi
Syariah (life and general); Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema
Insani, 2004) hal. 26. Lihat dalam Alie Yafie, Asuransi dalam Pandangan Syariat
Islam, Menggugas Fiqh Sosial, (Bandung: Mizan, 1994) hal. 205-206. Lihat juga
dalam Emmy Simanjuntak, Hukum Pertanggungan, (Yogyakarta: UGM, 1982)
hal.7.
[6] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, edisi
ke-3, 2005), hal. 73.
[7] Ia adalah Profesor terbang di Pusat
ICMA, Hanley Business School, Universitas Reading (Inggris) mengajar di program
MSc. Sebelumnya, ia adalah Profesor Manajemen Keuangan di Universitas Surrey
(Inggris).
[8] Ia adalah Profesor terbang di
Universitas Surrey (Inggris), dan Profesor Honorer di Universitas Monash
(Australia), dan terakhir sebagai Profesor terbang di Universitas Reading
(Inggris).
[9] Ia adalah Profesor Ekonomi di
Universitas Tier Jerman (1990-2004) sebelum menjabat sebagai Rektor di
Universitas Marburg (periode 2004-2010).
[10] Simon Archer, Rifaat Ahmed Abdel
Karim, dan Volker Nienhaus, Takaful Islamic Insurance: Concept and Regulator
Issues, (Singapura: John Willey & Sons, 2009), hal. 9.
[11] Sula, Muhammad Syakir, Asuransi
Syariah (life and general); Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema
Insani, 2004) hal. 26. Lihat juga Robert I. Mehr, Life Insurance Theory and
Practic, (Business Publication Inc, 1985)
[12] Muslehuddin, Muhammad, Insurance
and Islamic Law, terj. Burhan Wirasubrata, Menggugat Asuransi Modern:
Mengajukan Suatu Alternatif Baru dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta:
Penerbit Lentera, 1999), hal. 3. Lihat juga dalam Encyclopedia Britannica (Cambridge:
1910-11, Elevent edition), hal. 656
[14] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, edisi
ke-3, 2005), hal. 1115
[15] Sula, Muhammad Syakir, Asuransi
Syariah (life and general); Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema
Insani, 2004) hal. 28. Lihat juga Muhammad Syaufiq al-Fajri, al-Islam wa
at-Ta’min (Riyadh, 1994), hal. 23
[16] Bakar, Mohd Daud, Shari’ah
Prinsiples Governing Takaful Models, Editor, Simon Archer, Rifaat Ahmed
Abdel Karim, and Volker Nienhaus, Takaful Islamic Insurance: Concept and
Regulatory Issues, (Singapura: John Wiley, 2009) hal. 31
[17] Simon Archer, Rifaat Ahmed Abdel
Karim, dan Volker Nienhaus, Takaful Islamic Insurance: Concept and Regulator
Issues, (Singapura: John Willey & Sons, 2009), hal.287
[20] Muslehiddin, Muhammad, Insurance in
Islami, terj. Wardana, Asuransi dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
Cet. Ke-3, 2005), hal. 6-10
[22] Ali, AM. Hasan, Asuransi dalam
Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Prenada Media, edisi pertama, 2004), hal.
49-74
[23] Ali, AM. Hasan, Asuransi dalam
Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Prenada Media, edisi pertama, 2004), hal.
49-74
[24] HR. Bukhari, lihat juga dalam Anshori,
Abdul Ghafur, Asuransi Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press,
2007) hal. 31
[25] HR. Tirmizi, lihat juga dalam Rashid,
Sulaiman, Fikih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-40,
2007), hal. 432-433
[26] HR. Amir Ibn Hazm, lihat juga Rashid,
Sulaiman, Fikih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-40,
2007), hal. 434
[28] HR. Bukhari lihat juga dalam Anshori,
Abdul Ghafur, Asuransi Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press,
2007) hal. 32
[29] HR. at-Turmudzi lihat juga dalam
Anshori, Abdul Ghafur, Asuransi Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: UII
Press, 2007) hal. 32
[31] Ali, AM. Hasan, Asuransi dalam
Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Prenada Media, edisi pertama, 2004), hal.
74-77
[32] Ali, AM. Hasan, Asuransi dalam
Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Prenada Media, edisi pertama, 2004),
hal.54-74
[33] Ali, AM. Hasan, Asuransi dalam
Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Prenada Media, edisi pertama, 2004), hal.
77
[34] Sula, Muhammad Syakir, Asuransi
Syariah (life and general); Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema
Insani, 2004) hal. 293 lihat juga dalam Muhammad Syakir Sula, Konsep dan
Eksistensi Bisnis Akuntansi Syariah di Indonesia (Jurnal AAMAI, tahun VII,
No. 12-2003) hal. 8
[37] Q.S. ali-Imran (3) 130, al-Baqarah
(2); 275, al-Baqarah (2) 278-279, al-Baqarah (2): 276, ar-Rum (30): 39
[43] Lihat surat (ali-Imran (3) 130,
al-Baqarah (2); 275, al-Baqarah (2) 278-279, al-Baqarah (2): 276, ar-Rum (30):
39
[46] Hossein Askari, Zamir Iqbal, dan Abbas
Mirakhor, Globalization and Islamic Finance, (Siangapura: John Wiley,
2010) hal. 12-13 lihat juga Mirakhor, A., General characteristics of an Islamic
Economic System, in B. Alhassani and Mirakhor (eds), Essays on Iqtisad (Maryland:
Nur Publications, 1989; republished New York: Global Scholarly Publications,
2003). Dan lihat juga Mirahor, A., and Iqbal, Z., Profit-and-Lost Sharing
Contract in Islamic Finance, in M.K. Hassan and M.K. Lewis (eds.), Handbook
of Islamic Banking (Cheltenham, UK: Edward Elgar, 2007), hal. 49-63
[47] Keputusan Dewan Pimpinan Majelis Ulama
Indonesia tentang Susunan Pengurus DSN-MUI Nomor Kep.. 98/MUI/III/2001
[48] Keputusan Dewan Pimpinan Majelis Ulama
Indonesia tentang Susunan Pengurus DSN-MUI Nomor Kep.. 98/MUI/III/2001
[50] Lihat fatwa DSN no 21/DSN-MUI/X/2001
tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, bagian pertama dan kedua
[51] Lihat fatwa DSN no 21/DSN-MUI/X/2001
tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, bagian pertama Ketentuan Umum.
[52] Lihat fatwa DSN no 21/DSN-MUI/X/2001
tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, bagian kedua Akad dalam Asuransi
[53] Lihat fatwa DSN no 21/DSN-MUI/X/2001
tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, bagian kedua Akad dalam Asuransi
[55] Hossein Askari, Zamir Iqbal, dan Abbas
Mirakhor, Globalization and Islamic Finance, (Siangapura: John Wiley,
2010) hal. 12 lihat juga dalam Mirakhor, A., General characteristics of an
Islamic Economic System, in B. Alhassani and Mirakhor (eds), Essays on
Iqtisad (Maryland: Nur Publications, 1989; republished New York: Global
Scholarly Publications, 2003). Dan lihat juga Mirahor, A., and Iqbal, Z., Profit-and-Lost
Sharing Contract in Islamic Finance, in M.K. Hassan and M.K. Lewis (eds.), Handbook
of Islamic Banking (Cheltenham, UK: Edward Elgar, 2007), hal. 49-63
[62] Lihat Christoper Napier, Other
cultures, other accountings? Islamic accounting from past to present (Kanada:
presented at Accounting History International Conference, ke-5, 2007)
[63] Sri Nurhayati, dan Wasilah, Akuntansi
Syariah, (Jakarta: Salemba Empat, edisi 2 revisi, 2011), hal.91-117
Tidak ada komentar:
Posting Komentar