Minggu, 09 Desember 2012

Fatwa MUI tentang Pasar Modal Syariah

Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia no: 40/DSN-MUI/X/2003, tentang:
Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal

Menimbang :
a. Bahwa perkembangan ekonomi suatu negara tidak lepas dari perkembangan pasar modal.

b. Bahwa pasar modal berdasarkan prinsip syariah telah dikembangkan di berbagai negara.

c. Bahwa umat Islam Indonesia memerlukan Pasar Modal yang aktivitasnya sejalan dengan prinsip Syariah.

d. Bahwa oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Dewan Syariah Nasional MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.

Mengingat :
• Firman Allah, antara lain: ...dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba... (QS. al-Baqarah [2]: 275)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. al-Baqarah [2]: 278-279).

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS. An-Nisa [4] : 29)

Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah (QS. Al-Jumu’ah [62] : 10)

Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu...(QS. Al-Ma’idah [5]: 1)

• Hadis Nabi s.a.w antara lain:

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” (Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas dan Malik dari Yahya).

“Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak ada padamu” (HR. Al Khomsah dari Hukaim bin Hizam).

“Tidak halal (memberikan) pinjaman dan penjualan, tidak halal (menetapkan) dua syarat dalam satu jual beli, tidak halal keuntungan sesuatu yang tidak ditanggung resikonya, dan tidak halal (melakukan) penjualan sesuatu yang tidak ada padamu” (HR. Al Khomsah dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya).

“Rasulullah s.a.w melarang jual beli yang mengandung gharar” (HR. Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

“Rasulullah s.a.w melarang (untuk) melakukan penawaran palsu” (Muttafaq ‘alaih).

“Nabi SAW melarang pembelian ganda pada satu transaksi pembelian” (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i).

“Tidak boleh menjual sesuatu hingga kamu memilikinya” (HR. Baihaqi dari Hukaim bin Hizam).

“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR Al-Tirmidzi dari Amr bin Auf)

“Allah swt berfiman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, aku keluar dari mereka.’ (HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim dari Abu Hurairah).

“Dari Ma’mar bin Abdullah, dari Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah melakukan ikhtikar (penimbunan/monopoli) kecuali orang yang bersalah” (HR. Muslim).

• Kaidah fiqh: “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkan.”.

“Tidak boleh melakukan perbuatan hukum atas milik orang lain tanpa seizinnya”


Memperhatikan :
1. Pendapat Ulama, antara lain:

a. Pendapat Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni juz 5/173 [Beirut:Dar al Fikr, tanpa tahun]: Jika salah seorang dari dua orang berserikat membeli porsi mitra serikatnya, hukumnya boleh karena ia membeli milik pihak lain.

b. Pendapat Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu juz 3/1841: Bermuamalah dengan (melakukan kegiatan transaksi atas) saham hukumnya boleh, karena pemilik saham adalah mitra dalam perseroan sesuai dengan saham yang dimilikinya.

c. Pendapat para ulama yang menyatakan kbolehan jual beli saham pada perusahaan-perusahaan yang memiliki bisnis yang mubah, antara lain dikemukakan oleh Dr. Muhammad ‘Abdul Ghaffar al-Syarif (al-Syarif, Buhuts Fiqhiyyah Mu’ashirah, [Beirut: Dar Ibn Hazm, 1999], h.78-79); Dr. Muhammad Yusuf Musa (Musa, al-Islam wa Muskilatuna al-Hadhirah, [t.t : Silsilah al-Tsaqafah al-Islamiyah, 1958], h.58). Dr. Muhammad Rawas Qal’ahji, (Qal’ahji, al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah fi Dhaw’i al-Fiqh wa al-Syari’ah, [Beirut: Dar al-Nafa’is, 1999]). Syaikh Dr. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz al-Matrak (Al-Matrak, al-Riba wa al-Mu’amalat al-Mashrafiyyah, [Riyadh: Dar al-‘Ashimah, 1417 H], h. 369-375) menyatakan: (Jenis kedua) adalah saham-saham yang terdapat dalam perseroan yang dibolehkan, seperti perusahaan dagang atau perusahaan manufaktur yang dibolehkan. Bermusahamah (saling bersaham) dan bersyarikah (kongsi) dalam perusahaan tersebut serta menjualbelikan sahamnya, jika perusahaan itu dikenal serta tidak mengandung ketidakpastian dan ketidakjelasan yang signifikan, hukumnya boleh. Hal itu disebabkan karena saham adalah bagian dari modal yang dapat memberikan keuntungan kepada pemiliknya sebagai hasil dari usaha perniagaan dan manufaktur. Hal itu hukumnya halal, tanpa diragukan.

d. Pendapat para ulama yang membolehkan pengalihan kepemilikan porsi suatu surat berharga selama disepakati dan diizinkan oleh pemilik porsi lain dari suatu surat berharga (bi-idzni syarikihi). Lihat: Al-Majmu’ Syarh al-Muhazdzab IX/265 dan Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu IV/881.

e. Keputusan Muktamar ke-7 Majma’ Fiqh Islami tahun 1992 di Jeddah: Boleh menjual atau menjaminkan saham dengan tetap memperhatikan peraturan yang berlaku pada perseroan

2. Keputusan dan Rekomendasi Lokakarya Alim Ulama tentang Reksadana Syariah tanggal 24-25 Rabiul Awwal 1417H/29-30 Juli 1997M.

3. Undang-Undang RI no. 8 tahun 1995 tentang pasar modal.

4. SK DSN-MUI no. 01 Tahun 2001 tentang Pedoman Dasar Dewan Syariah Nasional.

5. Nota Kesepahaman antara DSN-MUI dengan Bapepam tanggal 14 Maret 2003 M / 11 Muharram 1424 H dan Pernyataan bersama Bapepam, APEI, dan SRO tanggal 14 Maret 2003 tentang kerjasama pengembangan dan implementasi prinsip syariah di pasar modal Indonesia.

6. Nota Kesepahaman antara DSN-MUI dengan SRO tanggal 10 Juli 2003 M / 10 Jumadil Awwal 1424 H tentang Kerjasama Pengembangan dan Implementasi Prinsip Syariah di Pasar Modal Indonesia.

7. Workshop Pasar Modal Syariah di Jakarta pada 14-15 Maret 2003 M / 11 - 12 Muharram 1424 H.

8. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional pada Hari Sabtu, tanggal 08 Sya’ban 1424 H / 04 Oktober 2003 M.

Dewan Syari’ah Nasional Menetapkan : FATWA TENTANG PASAR MODAL DAN PEDOMAN UMUM PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI BIDANG PASAR MODAL.

BAB I

KETENTUAN UMUM

PASAL 1

Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:

1. Pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.

2. Emiten adalah pihak yang melakukan penawaran umum.

3. Efek syariah adalah efek sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal yang akad, pengelolaan perusahaan, maupun cara penerbitannya memenuhi prinsip-prinsip syariah.

4. Shariah Compliance Officer (SCO) adalah pihak atau pejabat dari suatu perusahaan atau lembaga yang telah mendapat sertifikasi dari DSN-MUI dalam pemahaman mengenai prinsip-prinsip syariah di Pasar Modal.

5. Pernyataan Kesesuaian Syariah adalah pernyataan tertulis yang dikeluarkan oleh DSN-MUI terhadap suatu efek syariah bahwa Efek tersebut sudah sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah.

6. Prinsip-prinsip Syariah adalah prinsip-prinsip yang didasarkan atas ajaran Islam yang penetapannya dilakukan oleh DSN-MUI, baik ditetapkan dalam fatwa ini maupun dalam fatwa terkait lainnya.

BAB II

PRINSIP-PRINSIP SYARIAH DI BIDANG PASAR MODAL

PASAL 2

Pasar Modal

1. Pasar Modal beserta seluruh mekanisme kegiatannya terutama mengenai emiten, jenis efek yang diperdagangkan dan mekanisme perdagannya dipandang telah sesuai dengan Syariah apabila telah memnuhi prinsip-prinsip syariah.

2. Suatu efek dipandang telah memenuhi prinsip-prinsip syariah apabila telah memperoleh Pernyataan Kesesuaian Syariah.

BAB III

EMITEN YANG MENERBITKAN EFEK SYARIAH

Pasal 3

Kriteria Emiten atau Perusahaan Publik

1. Jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan dan akad serta cara pengelolaan perusahaan Emiten atau perusahaan Publik yang menerbitkan Efek Syariah tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.

2. Jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 angka 1 di atas, antara lain:


e. Melakukan investasi pada emiten (perusahaan) yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) hutang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih dominan dari modalnya;

3. Emiten atau perusahaan publik yang bermaksud menerbitkan efek syariah wajib untuk menandatangani dan memenuhi ketentuan akad yang sesuai dengan syariah atas efek syariah yang dikeluarkan.

4. Emiten atau perusahaan publik yang menerbitkan efek syariah wajib menjamin bahwa kegiatan usahanya memenuhi prinsip-prinsip syariah dan memiliki syariah compliance officer.

5. Dalam hal emiten atau perusahaan publik yang menerbitkan efek syariah sewaktu-waktu tidak memenuhi persyaratan tersebut di atas, maka efek yang diterbitkan dengan sendirinya sudah bukan sebagai efek syariah.

BAB IV

KRITERIA DAN JENIS EFEK SYARIAH

Pasal 4

Jenis Efek Syariah

1. Efek syariah mencakup saham syariah, obligasi syariah, Reksadana syariah, kontrak investasi kolektif efek baragun aset (KIKEBA) Syariah, dan surat berharga lainnya yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

2. Saham syariah adalah bukti kepemilikan atas suatu perusahaan yang memenuhi kriteria sebagaimana tercantum dalam pasal 3, dan tidak termasuk saham yang memiliki hak-hak istimewa.

3. Obligasi syariah adalah surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.

4. Reksadana syariah adalah reksadana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip Syariah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harga (shahib al-mal/rabb al-mal) dengan manajer investasi, begitu pula pengelolaan dana investasi sebagai wakil shahib al mal, maupun antara manajer investasi sebagai wakil shahib al-mal dengan penggunaan investasi.

5. Efek beragun aset syariah adalah efek yang diterbitkan oleh kontrak investasi kolektif EBA syariah yang berportofolio-nya terdiri dari aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat berharga komersial, tagihan yang timbul di kemudian hari, jual beli pemilikan aset fisik oleh lembaga keuangan, efek bersifat investasi yang dijamin oleh pemerintah, sarana peningkatan investasi/arus kas serta aset keuangan setara yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

6. Surat berharga komersial syariah adalah surat pengakuan atas suatu pembiayaan dalam jangka waktu tertentu yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

BAB V

TRANSAKSI EFEK

Pasal 5

Transaksi Yang Dilarang

1. Pelaksanaan transaksi harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta tidak diperbolehkan melakukan spekulasi dan manipulasi yang didalamnya mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman.

2. Transaksi yang mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman sebagaimana dimaksud ayat 1 di atas meliputi:

a. Najsy, yaitu melakukan penawaran palsu.

b. Bai’ al-ma’dum, yaitu melakukan penjualan atas barang (Efek Syariah) yang belum dimiliki (short selling);

c. Insider trading, yaitu memakai informasi orang dalam bentuk memperoleh keuntungan atas transaksi yang dilarang;

d. Menimbulkan informasi yang menyesatkan;

e. Margin trading, yaitu melakukan transaksi atas efek syariah dengan fasilitas pinjaman berbasis bunga atas kewajiban penyelesaian pembelian efek syariah tersebut; dan

f. Ikhtikar (penimbunan), yaitu melakukan pembelian atau dan pengumpulan suatu efek syariah untuk menyebabkan perubahan harga efek syariah, dengan tujuan mempengaruhi pihak lain;

g. Dan transaksi-transaksi lain yang mengandung unsur-unsur diatas.

Pasal 6

Harga Pasar Wajar

Harga pasar dari efek syariah harus mencerminkan nilai valuasi kondisi yang sesungguhnya dari aset yang menjadi dasar penerbitan efek tersebut dan/atau sesuai dengan mekanisme pasar yang teratur, wajar dan efisien serta tidak direkayasa.

BAB VI

PELAPORAN DAN KETERBUKAAN INFORMASI

Pasal 7

Dalam hal DSN-MUI memandang perlu untuk mendapatkan informasi, maka DSN-MUI berhak memperoleh informasi dari Bapepam dan pihak lain dalam rangka penerapan prinsip-prinsip syariah di pasar modal.

BAB VII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 8

1. Prinsip-prinsip syariah mengenai pasar modal dan seluruh mekanisme kegiatan terkait di dalamnya yang belum di atur dalam fatwa ini akan ditetapkan lebih lanjut dalam fatwa atau keputusan DSN-MUI.

2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta

Tanggal : 08 Sya’ban 1424 H / 04 Oktober 2003 M

DEWAN SYARI’AH NASIONAL

MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua, Sekretaris

K.H. M.A. Sahal Mahfudh Prof. Dr. H. M. Din Syamsuddin

Konsep Asuransi

 
Apa apa saja yang membedakan Asuransi syariah dengan Asuransi Konvensional? salah satunya adalah Karena Akad ( kesepakatan ) yang melekat di dalamnya.Pelajari Gambar Gambar berikut untuk memahami dasar konsep Asuransi Syariah.



Dari Gambar diatas jelas bahwa peserta  asuransi Syariah bertabarru ( membagi resiko ) kepada sesama peserta,bukan mengalihkan resiko ke perusahaan Asuransi.Dalam Asuransi syariah peserta tidak bergantung kepada Perusahaan Asuransi...oleh karenanya peserta Asuransi syariah sudah sepatutnya lebih terjamin pembayaran dana klaimnya.



Dari gambar diatas perusahaan Asuransi bertindak sebagai operator pengelola Dana Tabarru peserta ,dan oleh karena itu Perusahaan Asuransi berhak mengambil keuntungan atas pengelolaan dana tersebut.Tetapi Perusahaan Asuransi tidak berhak "memakan" atau mengambil dana tabarru peserta,yang artinya di Asuransi syariah sudah sepatutnya Perusahaan Asuransi membayarkan Claim Jika terjadi resiko pada peserta.



Gambar di atas bahwa dana dari premi peserta diinvestasikan ke dalam Investasi yang sesuai dengan syariah yaitu dengan skim mudharabah/mudharabah musytarakah,dan dibagi dengan berdasarkan akad tersebut.

Non-Muslim Minati Produk Syariah

SURABAYA, KOMPAS.com
Produk-produk investasi dan asuransi syariah tidak hanya diminati oleh investor Muslim. Kestabilan dan transparansi pengelolaan investasi menyebabkan produk itu diterima di luar investor Muslim.

Presiden Direktur AXA Finansial Indonesia Ardin Lauhatta mengatakan, faktor spekulasi dalam produk-produk syariah hampir tidak ada. Hal itu disukai para investornya. "Produk-produk ini relatif tidak terlalu fluktuatif," ujarnya di sela-sela peresmian AXA Centre di Surabaya, Senin (9/8/2010).

Transparansi pengelolaan menyebabkan faktor spekulasi lebih bisa ditekan. Selain itu, dana dari investor lebih banyak ditempatkan pada emiten-emiten yang relatif aman dan imbal hasilnya terukur. "Ada faktor diversifikasi investasi jadi. Jadi, investor non-Muslim juga meminati produk-produk syariah," ujarnya.
Hal itu terlihat dari pertumbuhan produk-produk investasi dan asuransi syariah. Meski belum tinggi, tren pertumbuhan relatif stabil dan terus naik. "Biasanya kenaikan terjadi pada semester kedua setiap tahunnya, terutama karena promosi menjelang Ramadhan. Tahun lalu, 80 persen premi semester kedua disumbang produk syariah," ujarnya.
Editor :
Erlangga Djumena

Sejarah Asuransi Syariah


Sejarah asuransi syariah dipetakan dalam beberapa periode, yaitu primitif, sebelum masehi, pertengahan, pra-Islam dan Islam, kolonial, dan modern hingga sekarang. Uraiannya adalah sebagai berikut:
 
Pendapat Muslehuddin, ia menggambarkan bahwa munculnya ide dan gagasan asuransi berkaitan erat dengan kelompok manusia, dan ia menyarankan mempelajari sejarah peradaban manusia. Dilanjutkan dengan pembahasan perkembangan peradaban manusia dari zaman primitif dikelompokkan menjadi tiga tahap, berburu, bertani, dan berbudaya. Dalam perkembangannya praktik mirip dengan asuransi didapati di wilayah Mesir dan Mesopotamia.[20]
    Sebelum Masehi 

  Kemudia dalam literatur yang lain disebutkan, bahwa Ali menggambarkan konsep asuransi sudah dikenal sejak zaman sebelum Masehi. Sebagaimana contoh cerita yang terekam dalam al-Qur’an sebagai berikut:[21]
 
(42) Dan Yusuf berkata kepada orang yang diketahuinya akan selamat diantara mereka berdua: "Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu." Maka syaitan menjadikan Dia lupa menerangkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya. karena itu tetaplah Dia (Yusuf) dalam penjara beberapa tahun lamanya. (43) Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya): "Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering." 

Hai orang-orang yang terkemuka: "Terangkanlah kepadaku tentang ta'bir mimpiku itu jika kamu dapat mena'birkan mimpi." (44) Mereka menjawab: "(Itu) adalah mimpi-mimpi yang kosong dan Kami sekali-kali tidak tahu menta'birkan mimpi itu." (45) Dan berkatalah orang yang selamat diantara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya: "Aku akan memberitakan kepadamu tentang (orang yang pandai) mena'birkan mimpi itu, Maka utuslah aku (kepadanya)." (46) (setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf Dia berseru): 

"Yusuf, Hai orang yang Amat dipercaya, Terangkanlah kepada Kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya." (47) 

Yusuf berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; Maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. (48) Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang Amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. (49) Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur."


Pada tahun 200 SM para saudagar dan aktor di Italia membentuk suatu collegin tennirium, semacam lembaga lembaga asuransi yang bertujuan membantu para janda dan anak-anak yatim. Pada zaman Alexander Agung (336-323 SM) disinyalir ada juga usaha manusia yang asuransi, yaitu upaya dari beberapa Kotapraja untuk mengisi kasnya dengan meminjamkan uang dari perserorangan dengan syarat-syarat tertentu.
 
 Pertengahan Ali menggambarkan, perkembangan asuransi pada zaman pertengahan. Muncul praktik asuransi di Exeter wilayah Negeri Inggris, yang pada waktu itu ada perkumpulan orang-orang yang mempunyai kesamaan bidang pekerjaannya seperti tukang roti, tukang kayu, dan tukang batu, kemudian disebut dengan “gilde”. Nampak kebiasaan dari kegiatan anggota “gilde”, mereka membuat kesepakatan dengan mengumpulkan uang dari anggotanya, dan menyalurkannya dana mereka bila mana rumah salah satu dari anggota “gilde” terbakar, maka akan mendapatkan uang dari dana “gilde” tersebut. Penjelasan diatas menjelaskan bahwa asuransi bukan merupakan suatu hal yang baru dalam asuransi konvensional maupun asuransi syariah. Melainkan disinyalir sudah ada praktik yang dianggap mirip dengan asuransi.[23]
4.  Pra-Islam dan Pasca Islam
Ali menjelaskan, di Jazirah Arab yaitu pada zaman pra-Islam. Budaya Arab yang dikenal dengan istilah “aqilah”, merupakan budaya yang terjadi pada suku Arab kuno. Jika seseorang anggota suku membunuh seseorang anggota suku lain, maka ada keharusan keluarga yang membunuh untuk memberikan sejumlah uang kepada keluarga korban. Praktik ini, jika dikaitkan dengan konteks kekinian mempunyai kemiripan dengan praktik asuransi jiwa, adanya dana santunan kepada keluarga korban. 

Pada periode Islam yaitu awal penanggalan Hijriah atau bertepatan dengan abad ke-7 M. terpengaruhi oleh budaya sebelumnya. Nampaknya ada budaya oleh Islam ditolak secara sepenuuhnya (seperti riba), ada budaya yang diadopsi tetapi diperbaruhi dengan nilai dasar syariah (seperti pembagian harta waris), dan budaya yang diadopsi karena tidak bertentangan dengan prinsip dasar syariah (seperti diyat). Ali menguraikan praktik asuransi berawal dari konsep “aqilah” Arab kuno, di kaitkan dengan membayar diyat. Hadis tentang ‘aqilah diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

“berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanita tersebut melempar batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janin yang dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah saw. maka Rasulullah saw memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin tersebut dengan pembebasan seorang budak laki-laki atau perempuan, dan memutuskan ganti rugi kematian wanita tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilah-nya (kerabat dari orang tua laki-laki)”. 
Adanya kewajiban oleh keluarga pembunuh untuk membayar diyat kepada keluarga korban yang terbunuh. Istilah diyat ini disinyalir juga praktinya mirip dengan asuransi. Menurut Rasjid definisi diyat adalah “denda pengganti jiwa yang tidak berlaku atau tidak dilakukan padanya hukum bunuh.” Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh Tirmizi,
“barang siapa membunuh orang dengan sengaja, ia diserahka kepada keluarga terbunuh. Mereka boleh membunuhnya atau menarik denda, yaitu 3o ekor unta betina umur tiga msuk empat tahun, 30 ekor unta betina umur empat masuk lima tahun, 40 ekor unta betina yang sudah bunting.”
 
Diyat seorang perempuan adalah seperdua dari diyat laki-laki, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Amir Ibn Hazm bahwa Rasulullah saw. bersabda:[26]
“Denda perempuan seperdua dari laki-laki.”

Menurut Anshori bahwa Piagam Madinah memuat tentang ketentuan kaum mukminin tidak boleh membiarkan kaum mukminin jika ada seseorang mukmin berada dalam kesulitan memnuhi kewajiban membayar diyat atau tebusan tawanan. Bunyi hadis tentang piagam madinah adalah sebagai berikut:
“dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini adalah piagam dari Muhammad, NAbi SAW. di kalangan mukminin dan muslimin (yang bersal) dari Quraisy dan Yastrib, dan orang yang mengakui mereka, menggabungkan diri dan bersama mereka. Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari (komunitas) manusia yang lain. Kaum Muhajirin dari Quraisy sesuai keadaan (kebiasaa) mereka, bahu membahu membayar tebusan tawanan dengan cara yang adil di antara mukminin.”

Hadis tentang anjuran menghilangkan kesulitan seseorang diriwayatkan oleh Abu Hurairah; 
“Nabi Muhammad saw bersabda: barang siapa menghilangkan kesulitan duniawinya seseorang mukmin, maka Allah akan menghilangkan kesulitan pada hari kiamat. Barang siapa yang mempermudah kesulitan seseorang maka Allah akan mempermudah urusannya di dunia dan akhirat.” 
Hadis tentang anjuran meninggalkan ahli waris dalam keadaan kaya, yang diriwayatkan oleh Amin bin Sa’ad bin Abi Waqasy, bahwa Rasulullah saw bersabda

“lebih baik jika engkau meninggalkan anak-anak kamu (ahli waris) dalam keadaan kaya raya, daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin (kelaparan) yang meminta-minta kepada manusia lainnya.”
Hadis tentang menghindari resiko diriwayatkan dari Anas bin Malik bertanya kepada Rasulullah saw. tentang untanya
“apa (unta) ini saya ikat saja atau langsung saya bertawakal pada (Allah SWT)? Bersabda Rasulullah saw.: Pertama ikatlah unta itu kemudian bertawakallah kepada Allah SWT.”
Selanjutnya menurut Anshori bahwa sosok Umar ibn Khattab adalah orang yang pertama kali mengeluarkan perintah dalam menyiapkan daftar secara professional. Praktik pembayaran ganti rugi sebagai mana Umar ibn Khattab telah berkata:

“orang-orang yang namanya tercantum dalam diwan tersebut berhak menerima bantuan dari satu sama lain dan harus menyumbang untuk pembayaran hukuman (ganti rugi) atas pembunuhan (tidak sengaja) yang dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat mereka.”
5.      Kolonial
Pada perkembangan asuransi pada masa kolonial di Indonesia menurut Ali dibagi menjadi 2 periode
a)      Periode kolonial Belanda sampai pada tahun 1942, ditandai dengan munculnya maskapai-maskapai yang tercatat dalam sejarah asuransi jiwa di Indonesia waktu itu mencapai 36 buah buah yang menyebar di kota-kota seperti, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya.
b)      Periode kolonial Jepang dari tahun 1942 – 17 Agustus 1945, banyak maskapai yang gulung tikar yang menunjukkan bahwa periode ini, hampir tidak ada perkembangan asuransi yang signifikan.
6.      Modern Hingga Sekarang
Ali menggambarkan fase modern bisnis asuransi, William Gibbon adalah seorang yang memperkenalkan praktik asuransi dalam instrument perusahaan yang lebih teratur dan tertata lebih baik pada zaman itu. Gibbon merupakan seorang berkewarganegaraan Inggris. Dan Gibbon memperkenalkan praktik asuransi dalam instrument perusahaan tersebut pada tahun 1870 atau paruh kedua abad ke-19 Masehi. Pada paruh kedua abad ke-20 Masehi, Ali menggambarkan kodisi negara-negara di Timur Tengah dan Afirka mulai muncul mempraktikkan asuransi syariah atau takaful

Perkembangan asuransi di Indonesia menurut Ali Era Kemerdekaan sampai tahun 1960an, ada beberapa perusahaan asuransi mulai mucul dan dipengaruhi oleh periode penjajahan Belanda. Misalnya perusahaan asuransi Boemi Poetra, dan Dharma Nasional (1954) bergabung ke PT (persero), Asuransi Jiwasraya Iman Adi (1961), Djamina (1962), Sukma Sedjati (1962), dan Affan (1964).
Menurut Ali, Sejarah Asuransi Syariah di Indonesia diawali dengan PT. Syarikat Takaful Indonesia (PT. STI.) sebagai holding company dengan mendirikan dua anak perusahaan pada tanggal 24 Febuari 1994 yaitu PT. Asuransi Takaful Umum (general Insurance), dan PT. Asuransi Takaful Keluarga (life insurance). Asuransi Syariah pertama di Indonesia adalah PT. Asuransi Takaful Keluarga, yang didirikannya oleh Pembentuk Takaful Indonesia (TEPATI) yang dipelopori oleh ICMI melalui yayasan Andi bangsi, Bank Muamalat Indonesia, Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Pejabat dari Departemen Keuangan, dan Pengusaha Muslim Indonesia. PT. Asuransi Takaful Keluarga diresmikan oleh Menteri Keuangan dengan Sk. Menkeu. Nomor keputusan 385/KMK.017/1994 pada tanggal 25 Agustus 1994

ASPEK-ASPEK SYARIAH DALAM ASURANSI SYARIAH
Ada beberapa aspek syariah dalam asuransi syariah, yang terletak pada, konsep, asal-usul, sumber hukum, tidak ada unsur maisir, gharar, dan riba, Dewan Pengawas Syariah, akad, risk sharing,pengelolaan dana, investasi dana, kepemilikan dana, unsur premi, kontribusi biaya (loading), sumber pembayaran klaim, sistem akuntansi,profit (keuntungan), dan Misi dan Visi.
Dari beberapa aspek diatas penulis akan menguraikan secara singkat yang itu berbeda dengan asuransi syariah. Dan disini lebbih focus membahasa aspek syariah dalam asuransi syariah sebagai berikut:
KONSEP
Menurut Sula, bahwa konsep asuransi syariah ialah “suatu konsep di mana terjadi saling memikul resiko di antara sesame peserta. Sehingga, antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas risiko yang muncul.” 
Menurut penulis bahwa di dalam al-Qur’an, terdapat beberapa konsep yang mendasari asuransi syariah, yaitu, adanya anjuran menyiapkan masa depan,perintah untuk saling tolong menolong dan bekerja sama, melarang riba, melarang maisir, melarang memakan dengan cara batil perintah Allah swt. untuk bertawakal dan optimis dalam bertawakal,perhargaan Allah swt. terhadap perbuatan mulia yang dilakukaan manusia,
ASAL-USUL
Pada pembahasan tentang sejarah asuransi pada zaman pra-Islam atau Arab kuno di atas dijelaskan bahwa praktik asuransi syariah yang mirip dengan asuransi jiwa syariah, yaitu “’aqilah”. Apabila seseorang anggota suku membunuh seseorang anggota suku lain, maka ada keharusan keluarga dari yang membunuh untuk memberikan sejumlah uang kepada keluarga korban sebagai bentuk kompensasi (diyat).

SUMBER HUKUM
Dalam sember hukum dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu sumber hukum normative, dan sumber hukum positif.
1.      Sumber hukum normatif
Sumber ajaran sekaligus hukum Islam adalah al-Qur’an, penjelasan, praktik, dan ucapan rasul dari nash disebut dengan sunnah. Sumber hukum Islam yang kedua adalah hadis, merupakan perkataan, tindakan Nabi Muhammad saw.  dan sumber hukum Islam yang ketiga ijtihad (fatwa sahabat, ijma’, qiyas, dan istihsan).
     
   Sumber hukum positif
Asuransi syariah di Indonesia landasan hukumnnya adalah sebagai berikut;
     Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian,
     Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
c      Keputusan Menteri Keuangan Nomor 426/KMK.06/2003 tentang perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi,
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi,
      Fatwa DSN Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 tantang Pedoman Umum Asuransi Syariah,
f.       Fatwa DSN Nomor 22/DSN-MUI/X/2002 tentang Asuransi Haji,
     Fatwa DSN Nomor 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Mudharabah Mustarakah pada Asuransi Syariah, dan
     Fatwa DSN Nomor 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Tabarru’ pada Asuransi Syariah.
LARANGAN RIBA, GHARAR, DAN MAISIR
Pendapat Rasjid, bahwa riba adalah “akad yang terjadi dengan penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara’, atau terlambat menerimanya.”[42] Di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa riba hukumnya haram.[43] Menurut Rasjid, haram adalah larangan keras. apabila dikerjakan berdosa, dan jika ditinggalkan mendapatkan pahala hukumnya.[44]
Maisir (perjudian) perbuatan yang di larang keras dalam al-Qur’an dan tidak dibenarkan melakukannya. Maisir (judi) juga dikaitkan suatu perbuatan lebih dekat dengan perbuatan syaitan. [45]
Menurut Mirakhor dan Iqbal, riba, gharar, dan maisir adalah[46]
Prohibition of riba, a term literally, meaning “an excess” and interpreted as “any unjustifiable increase of capital whether in loan or sales,” is the center tenet of the system. More precisely, any positive, fixed, predetermined rated tied to the maturity and the amount of principal (that is, guaranteed regardless of the performance of the investment) is considered riba and is prohibited. The general consensus among Islam scholars is that riba covers not only usury but also the charging of “interest” as widely practiced. A direct implication of prohibition of interest is prohibition of pure debt security with a predetermined interest rate.
This prohibition is based on arguments of social justice, equality, and property rights. Islam encourages the earning of profits but forbids the charging of interest because profits, determined ex post, symbolized successful entrepreneurship and creation of additional wealth, whereas interest, determined ex ante, is cost that is accrued irrespective of outcome of business losses. Social justice demands that borrowers and leaders shared rewards as well as losses in an equitable fashion, and that the process of wealth accumulation and distribution in the economy be fair and representative of true productivity.
prohibition of speculative behavior, An Islamic financial system discourages hoarding and prohibits transactions featuring extreme uncertainties, gambling, and risks.
Sanctity of contracts and preservation of property rights. Islam upholds contractual obligations and the disclosure of information as a sacred duty. This feature is intended to reduce the risk of asymmetric information and moral hazard. Islam places great importance on preservation of property rights; defines a balance between the rights of individuals, society, and the state; strongly prohibits encroachment of anyone’s property right.
Asuransi syariah agar bebas dari riba, maisir, dan gharar, diperlukan pergantian sistem dan operasionalnya. Yakni memasukkan instrumen syariah ke dalam sistem dan operasionalnya. Misalnya mudharabah, wadiah, wakalah, tijarah, hibbah, mustarakah, dan sebagainya.
DEWAN PENGAWAS SYARIAH
Dewan pengurus syariah adalah badan yang ada di lembaga keuangan syariah dan bertugas mengawasi pelaksanaan keputusan DSN di lembaga keuangan syariah. Dewan pengurus syariah diangkat melalui RUPS setelah mendapatkan rekomendasi dari DSN.[47] Adanya DPS setidaknya berperan aktif dalam pengawasan terhadapa perusahaan asuransi syariah agar menjalankan kegiatannya sesuai fungsi DPS dan menjaga nilai syariah.
Fungsi DPS adalah[48]
a)      DPS melakukan secara peiodik pada lembaga keuangan syariah yang berada di bawah pengawasannya.
b)      DPS berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN.
c)      DPS melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran
d)     DPS merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan pembahasan-pembahasan DSN.
AKAD
Untuk memahami itilah akad, penulis meminjam istilah akad di Undang-undang Perbankan Syariah no 21 tahun 2008, bahwa “akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah.”[49]
Jika dikaitkan dengan asuransi syariah, akad merupakan kesepakatan tertulis antara perusahaan asuransi dan pihak lain yang didalam kesepakatan tersebut memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah. Akad ini yang dimaksud adalah tidak mengandung gharar, maisyir (perjudian), riba, zulm (penganiayaan), rswah (suap), barang haram dan maksiat. Di dalam asuransi syariah ada dua macam akad, yaitu akad tijarah dan akad tabarru’. [50]
Di dalam fatwa DSN MUI juga dijelaskan definisi akad tijarah dan tabarru’. Akad tijarah adalah “semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial”. Dan akad  tabarru’ adalah “semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan kebajikan dan tolong menolong, bukan semata-mata untuk tujuan komersial.”[51]  Akad yang dimaksud akad tijarah dan tabarru’. Adalah, akad tijarah adalah mudharabah, dan akad tabarru’ adalah hibah.[52]
Kemudian di dalam akad tersebut setidaknya dan sekurang-kurangnya menyebutkan:[53]
a)      Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan
b)      Cara dan waktu pembayaran premi.
c)      Jenis akad tijarah dan/atau tabarru’ dan syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan akad asuransi yang diakadkan
            Kedudukan para pihak dalam akad tijarah dan tabarru’ adalah pertama, dalam akad tijarah (mudharabah) perusahaan bertindak sebagai pengelola (mudharib) dan peserta sebagai pemegang polis (shahibul mal). Kedua, dalam akad tabarru’ (hibah) peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan sebagai pengelola dana hibah.[54]
RISK SHARING
Hubungan antara peserta dengan perusahaan di asuransi syariah adalah risk sharing. Risk sharing merupakan saling menanggung risiko, bahwa jika ada sesorang diantara anggota asuransi syariah terkenah musiba, maka semua anggota saling menanggung anggota tersebut.
Keuangan Islam menggunakan mekanisme risk sharing, termasuk di dalamnya asuransi syariah, yaitu membagi kerugian dan keuntungan. Menurut Mirakhor tentang risk sharing adalah[55]
“Because interest is prohibited, pure debt security is elimeneted from the system and therefore suppliers of funds become investors instead of creditor. The provider of financial capital and the entrepreneur share business risks in return for shares of the profits and losses.”  
PENGELOLAAN DANA
Perusahaan asuransi syariah dilarang mengelola dananya yang bertentangan dengan syariah. Misalnya dana yang terkumpul dari perusahaan asuransi syariah dikelolakan ke perusahaan minuman keras (khamar), hal ini bertentangan dengan syariah, sebab khamar  diharamkan dalam al-Qur’an. Di dalam fatwa DSN bahwa asuransi syariah dalam kegiatannya diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah. Asuransi syariah tidak boleh mengelola dananya dengan cara baik yang mengandung dari unsur-unsur seperti, gharar (penipuan), maisyir (perjudian), riba, zulm (penganiayaan), riswah (suap), barang haram dan maksiat. [56]
INVESTASI DANA
Investasi dana tujuannya dalah baik, sehingga secara ekonomi dana berpotensi berkembang. Akan tetapi jika dalam investasi dana tersebut prosesnya dengan cara tidak halal, maka hasilnya yang didapat juga haram. Mengacu pada fatwa DSN no. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman Umum Asuransi Syariah, bahwa “perusahaan selaku pemegang kekuasaan wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul.” Dan “investasi wajib dilakukan sesuai syariah.” [57]Di dalam al-Qur’an juga dijelaskan tentang memakan harta dari jalan yang baik, bukan dari jalan yang batil.[58]
KEPEMILIKAN DANA
Islam mengenal kepemilikan harta, akan tetapi didapatkan dengan jalan yang benar. Dalam konteks asuransi syariah juga mengenal adanya kepemilikan dana. Bahwa, di dalam asuransi syariah, peserta asuransi disebut sebagai shahibul mal (pemegang polis), dan perusahaan disebut sebagai mudharib (pengelola).[59] Perusahan mempunya tanggungjawab atau memegang amanah dan implementasi dari keadilan.
UNSUR PREMI
Definisi premi dalam fatwa DSN menjelaskan, bahwa “premi adalah kewajiban peserta asuransi untuk memberikan sejulah dana kepada perusahaan asuransi sesuai kesepakatan dalam akad.”[60] Unsur premi dalam asuransi tidak terdapat unsur bunga, tetapi dengan unsur bagi hasil atau dikenal dengan nisbah sesuai dengan kesepakatan dalam akad antara perusahaan dengan peserta asuransi. Misalnya dalam asuransi jiwa akad mudharabah.
KONTRIBUSI BIAYA (LOADING)
Tidak ada pembebanan kontribusi biaya atau loading, yaitu komisi yang diberikan kepada agen asuransi syariah.  Mengambil dari iuran dana peserta yang terkumpul merupakan ketidakadilan. Loading ini diambil dari dana pemegang saham. Akan tetapi praktiknya loading dari iuran peserta oleh DPS masih diperbolehkan, yakni dalam jumlah tertentu misalnya sebesar 20-30 persen dari premi tahun pertama. Ini mungkin mengacu pada kaidah fikih:
 “jika tidak mampu melakukan secara keseluruhan, maka jangan meninggalkan atau tidak melakukan sama sekali.”
            Setidaknya asuransi syariah merupakan asuransi yang murni syariah yang menjunjung tinggi nialai syariah, adanya nilai tolong-menolong dalam hal kebajikan. Serta merupakan upaya untuk mendekati, walaupun belum sepenuhnya berjalan dalam praktik asuransi syariah.  
 SUMBER PEMBAYARAN KLAIM
Definisi klaim dalam fatwa DSN adalah “hak peserta asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai kesepakatan dalam akad.”[61] Dari konsep tolong menolong yang ada dalam al-Qur’an. Misalnya akad mudharabah pada asuransi jiwa. Bahwa dana yang terkumpul dari semua peserta asuransi, jika ada salah satu peserta mendapatkan musibah, maka akan mendapatkan dana dari dana yang terkumpul tersebut. Sesuai dengan akad ketika masuk asuransi syariah. Sehingga peserta yang terkena musibah tersebut telah diringankan oleh peserta lain. Jadi sumber pembayaran klaim pada asuransi syariah berasal dari dana yang terkumpul oleh peserta asuransi syariah.
SISTEM AKUNTANSI
Menurut Christoper Napier dalam artikelnya. Islam mempunyai pengaruh dalam perkembangan dalam akuntansi, adanya standar pelaporan Keuangan Internasional dengan keperluan untuk mempertahankan nilai dasar Islam.[62] Begitu juga asuransi syariah yang notabene lembaga keuangan yang berbasis syariah, yang melakukan transaksi syariah. Ada keharusan dalam pelaporan keuangan menggunakan akuntansi syariah, sebagai bentuk mempertahankan nilai syariah.
Asuransi di tingkat internasional mempunya organisasi, yaitu AAOIFI (accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) merupakan organisai yang mengembangkan akuntansi dan auditing bagi lembaga keuangan syariah di tingkat dunia. Sedangkan asuransi di tingkat nasional mempunyai organisasi, yaitu Dewan Standar Akuntansi Indonesia (DSAK) menyusun PSAK Syariah tentang kerangka dasar penyusunan dan penyajian laporan keuangan syariah. Postulates disepakati oleh PSAK dan AAOIFI untuk digunakan dalam akuntansi syariah, bahwa akuntansi syariah mengadopsi dari akuntasi konvensional. Walaupun ada perdebatan pendapat diantara pemikir Islam, misalnya mengenai konsep entitas unit akuntansi terbagi menjadi dua teori, proprietary theory, yaitu dimana kepemilikan terhadap perusahaan tercermin pada ekuitas sehingga persamaannya adalah aset - kewajiban = ekuitas, dan entity theory, yaitu dimana pemilik hanya memiliki ha katas sebagian dari kepemilikan perusahaan, sehingga persamaannya adalah aset = kewajiabn + ekuitas. Pemikiran akuntansi syariah terus berkembang dan terus menjadi kajian mendalam bagi para ahli dibidang ilmu akuntansi.[63]
PROFIT (KEUNTUNGAN)
Adanya bagi hasil yang di berikan antara perusahaan asuransi dengan peserta asuransi sesuai dengan akad ketika masuk asuransi syariah. Besar dan kecilnya bagi hasil ini dipengaruhi oleh kondisi keuangan, yaitu sehat atau tidaknya kondisi keuangan perusahaan asuransi tersebut. Semakin sehat kondisi keuangannya semakin besar pula porsi bagi hasilnya. Begitu juga perusahaan dalam kondisi tidak sehat keuangannya, yang berpotensi kecil juga porsi bagi hasilnya. Bagi hasil disini yang dimaksud adalah berasal dari keuntungan surplus underwriting, komisi reasuransi, dan hasil investasi. 
MISI DAN VISI
Asuransi syariah dapat kita tarik kepada tiga misi, yaitu misi ilahiyah, misi ibadah, misi ekonomi, misi sosial. Asuransi syariah juga dekat dengan ibadah. Sebab di dalam Islam mengenal ibadah individu dan ibadah sosial. Ibdah individu merupakan ibadah yang memiliki pengaruh terhadap individu, dan hanya dapat dirasakan oleh individu, dan berdampak secara individu yang melakukan ibadah tersebut. Sedangkan ibadah sosial ini mempunyai dampak sosial, sehingga individu yang mengerjakan, orang yang ada di sekitarnya juga dapat ikut merasakan dampaknya. Oleh sebab itu asuransi syariah mengadung unsur ibadah sosial, sebab individu (pemegang polis) dapat merasakan dampaknya, sekaligus orang yang ada disekitar (peserta asuransi syariah) juga dapat ikut merasakan. Sehingga ada dampak ekonomi dan sosial yang timbul dari asuransi syariah.sehingga ini merupakan pengaruh dari visi misi asuransi syariah. Sebab asuransi syariah mempunyai visi dan misi ilahiyah, ibadah, ekonomi, dan sosial.
SIMPULAN
Asuransi syariah mempunyai definisi yang beragam, sehingga definisi asuransi syariah adalah asuransi yang menjalankan operasional dan sistemnya sesuai dengan prinsip syariah. Sejarah perkembangan asuransi syariah diawali dari zaman primitif, sebelum masehi, pertengahan, pra-Islam dan Islam, kolonial, dan modern hingga sekarang. Aspek syariah dalam asuransi syariah terdapat dalam: konsep, asal-usul, sumber hukum, larangan maisir, gharar, dan riba, Dewan Pengawas Syariah, akad, risk sharing,pengelolaan dana, investasi dana, kepemilikan dana, unsur premi, kontribusi biaya (loading), sumber pembayaran klaim, sistem akuntansi, profit (keuntungan), dan misi dan visi.
PENUTUP
Dari uraian diatas bahwa setidaknya kita dapat memahami apa definisi asuransi syariah, sejarah perkembangan asuransi syariah, dan aspek syariah dalam asurasi syariah. Sehingga dapat menjadi bahan kajian asuransi syariah, pada kajian lanjutan misalnya membahas salah satu aspek syariah dalam premi asuransi syariah secara lebih detail. Sebab menurut penulis disini asuransi syariah berkembang mengikuti zamannya. Dan perkembangan ilmu asuransi syariah juga ikut semakin berkembang, dan diharapkan ada penelitian-penelitian lanjutan. Sehingga dapat menambah khazanah keilmuan kesyariahan.
Dalam penulisan artikel ini penulis menyadari masih banyak kekurangan dan tidak sempurna. Sebab kesempurnaan itu hanyalah milik Allah swt. Penulis hanyalah hamba Allah swt. Dalam penulisan ini berdasarkan intersubjektifitas penulis. Wallahu a’lam bissawab.




DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya
Ali, AM. Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Prenada Media, edisi pertama, 2004)
Bakar, Mohd Daud, Shari’ah Prinsiples Governing Takaful Models, dalam, Simon Archer, Rifaat Ahmed Abdel Karim, and Volker Nienhaus, Takaful Islamic Insurance: Concept and Regulatory Issues, (Singapura: John Wiley, 2009)
Christoper Napier, Other cultures, other accountings? Islamic accounting from past to present, (Kanada: presented at Accounting History International Conference, ke-5, 2007)
John M. Echols, dan Hasan Shadily,  An English – Indonesian Dictionary (Kamus Inggris – Indonesia), (Jakarta: Gramedia, Cetakan ke-8, 1989
Hossein Askari, Zamir Iqbal, dan Abbas Mirakhor, Globalization and Islamic Finance, (Siangapura: John Wiley, 2010)
Iqbal, Muhammad, Asuransi Umum Syariah dalam Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2005),
Muhammad Syaufiq al-Fajri, al-Islam wa at-Ta’min (Riyadh, 1994),
Muslehuddin, Muhammad, Insurance and Islamic Law, terj. Burhan Wirasubrata, Menggugat Asuransi Modern: Mengajukan Suatu Alternatif Baru dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Penerbit Lentera, 1999)
Muslehiddin, Muhammad, Insurance in Islami, terj. Wardana, Asuransi dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, Cet. Ke-3, 2005)
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, edisi ke-3, 2005)
Rashid, Sulaiman, Fikih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-40, 2007)
Simon Archer, Rifaat Ahmed Abdel Karim, dan Volker Nienhaus, Takaful Islamic Insurance: Concept and Regulator Issues, (Singapura: John Willey & Sons, 2009).  
Sula, Muhammad Syakir, Asuransi Syariah (life and general); Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema Insani, 2004) hal. 26. Lihat dalam Alie Yafie, Asuransi dalam Pandangan Syariat Islam, Menggugas Fiqh Sosial, (Bandung: Mizan, 1994) hal. 205-206. Lihat juga dalam Emmy Simanjuntak, Hukum Pertanggungan, (Yogyakarta: UGM, 1982)
Sri Nurhayati, dan Wasilah, Akuntansi Syariah, (Jakarta: Salemba Empat, edisi 2 revisi, 2011)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
Undang-undang Republik Indonesia No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
Keputusan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia tentang Susunan Pengurus DSN-MUI Nomor Kep.. 98/MUI/III/2001
Fatwa DSN Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
Fatwa DSN Nomor 22/DSN-MUI/X/2002 tentang Asuransi Haji
Fatwa DSN Nomor 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Mudharabah Mustarakah pada Asuransi Syariah
Fatwa DSN Nomor 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Tabarru’ pada Asuransi Syariah




[1] Muslehiddin, Muhammad, Insurance in Islami, terj. Wardana, Asuransi dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, Cet. Ke-3, 2005), hal. 6-10
[2] QS. Yusuf (12): 42-49
[3] Ali, AM. Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Prenada Media, edisi pertama, 2004), hal. 49-74
[4] John M. Echols, dan Hasan Shadily, An English – Indonesian Dictionary (Kamus Inggris – Indonesia), (Jakarta: Gramedia, Cetakan ke-8, 1989), hal. 326.
[5] Sula, Muhammad Syakir, Asuransi Syariah (life and general); Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema Insani, 2004) hal. 26. Lihat dalam Alie Yafie, Asuransi dalam Pandangan Syariat Islam, Menggugas Fiqh Sosial, (Bandung: Mizan, 1994) hal. 205-206. Lihat juga dalam Emmy Simanjuntak, Hukum Pertanggungan, (Yogyakarta: UGM, 1982) hal.7.
[6] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, edisi ke-3, 2005), hal. 73.
[7] Ia adalah Profesor terbang di Pusat ICMA, Hanley Business School, Universitas Reading (Inggris) mengajar di program MSc. Sebelumnya, ia adalah Profesor Manajemen Keuangan di Universitas Surrey (Inggris). 
[8] Ia adalah Profesor terbang di Universitas Surrey (Inggris), dan Profesor Honorer di Universitas Monash (Australia), dan terakhir sebagai Profesor terbang di Universitas Reading (Inggris).
[9] Ia adalah Profesor Ekonomi di Universitas Tier Jerman (1990-2004) sebelum menjabat sebagai Rektor di Universitas Marburg (periode 2004-2010).
[10] Simon Archer, Rifaat Ahmed Abdel Karim, dan Volker Nienhaus, Takaful Islamic Insurance: Concept and Regulator Issues, (Singapura: John Willey & Sons, 2009), hal. 9.  
[11] Sula, Muhammad Syakir, Asuransi Syariah (life and general); Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema Insani, 2004) hal. 26. Lihat juga Robert I. Mehr, Life Insurance Theory and Practic, (Business Publication Inc, 1985)
[12] Muslehuddin, Muhammad, Insurance and Islamic Law, terj. Burhan Wirasubrata, Menggugat Asuransi Modern: Mengajukan Suatu Alternatif Baru dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Penerbit Lentera, 1999), hal. 3. Lihat juga dalam Encyclopedia Britannica (Cambridge: 1910-11, Elevent edition), hal. 656
[13] Pasal 246
[14] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, edisi ke-3, 2005), hal. 1115
[15] Sula, Muhammad Syakir, Asuransi Syariah (life and general); Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema Insani, 2004) hal. 28. Lihat juga Muhammad Syaufiq al-Fajri, al-Islam wa at-Ta’min (Riyadh, 1994), hal. 23
[16] Bakar, Mohd Daud, Shari’ah Prinsiples Governing Takaful Models, Editor, Simon Archer, Rifaat Ahmed Abdel Karim, and Volker Nienhaus, Takaful Islamic Insurance: Concept and Regulatory Issues, (Singapura: John Wiley, 2009) hal. 31
[17] Simon Archer, Rifaat Ahmed Abdel Karim, dan Volker Nienhaus, Takaful Islamic Insurance: Concept and Regulator Issues, (Singapura: John Willey & Sons, 2009), hal.287
[18] Iqbal, Muhammad, Asuransi Umum Syariah dalam Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hal. 2
[19] Lihat fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001
[20] Muslehiddin, Muhammad, Insurance in Islami, terj. Wardana, Asuransi dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, Cet. Ke-3, 2005), hal. 6-10
[21] Lihat Q.S. Yusuf (12): 42-49
[22] Ali, AM. Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Prenada Media, edisi pertama, 2004), hal. 49-74
[23] Ali, AM. Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Prenada Media, edisi pertama, 2004), hal. 49-74
[24] HR. Bukhari, lihat juga dalam Anshori, Abdul Ghafur, Asuransi Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2007) hal. 31
[25] HR. Tirmizi, lihat juga dalam Rashid, Sulaiman, Fikih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-40, 2007), hal. 432-433
[26] HR. Amir Ibn Hazm, lihat juga Rashid, Sulaiman, Fikih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-40, 2007), hal. 434
[27] Anshori, Abdul Ghafur, Asuransi Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2007) hal. 33
[28] HR. Bukhari lihat juga dalam Anshori, Abdul Ghafur, Asuransi Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2007) hal. 32
[29] HR. at-Turmudzi lihat juga dalam Anshori, Abdul Ghafur, Asuransi Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2007) hal. 32
[30] Anshori, Abdul Ghafur, Asuransi Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2007) hal. 33
[31] Ali, AM. Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Prenada Media, edisi pertama, 2004), hal. 74-77
[32] Ali, AM. Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Prenada Media, edisi pertama, 2004), hal.54-74
[33] Ali, AM. Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Prenada Media, edisi pertama, 2004), hal. 77
[34] Sula, Muhammad Syakir, Asuransi Syariah (life and general); Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema Insani, 2004) hal. 293 lihat juga dalam Muhammad Syakir Sula, Konsep dan Eksistensi Bisnis Akuntansi Syariah di Indonesia (Jurnal AAMAI, tahun VII, No. 12-2003) hal. 8
[35] Q.S. al-Hasyr (59): 18, Yusuf (12) 42-49
[36] Q.S. Al-maidah (5): 2, al-Baqarah (2): 185
[37] Q.S. ali-Imran (3) 130, al-Baqarah (2); 275, al-Baqarah (2) 278-279, al-Baqarah (2): 276, ar-Rum (30): 39
[38] Q.S. al-Maidah (5): 2
[39] Q.S. an-Nisa’ (4): 29
[40] Q.S. al-Taghaabun (64): 11, Lukman (31): 34
[41] Q.S. al-Baqarah (2): 261
[42] Rashid, Sulaiman, Fikih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-40, 2007), hal. 290
[43] Lihat surat (ali-Imran (3) 130, al-Baqarah (2); 275, al-Baqarah (2) 278-279, al-Baqarah (2): 276, ar-Rum (30): 39
[44] Rashid, sulaiman, Fikih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-40, 2007), hal. 1
[45] Q.S. al-Maidah (5): 90
[46] Hossein Askari, Zamir Iqbal, dan Abbas Mirakhor, Globalization and Islamic Finance, (Siangapura: John Wiley, 2010) hal. 12-13 lihat juga Mirakhor, A., General characteristics of an Islamic Economic System, in B. Alhassani and Mirakhor (eds), Essays on Iqtisad (Maryland: Nur Publications, 1989; republished New York: Global Scholarly Publications, 2003). Dan lihat juga Mirahor, A., and Iqbal, Z., Profit-and-Lost Sharing Contract in Islamic Finance, in M.K. Hassan and M.K. Lewis (eds.), Handbook of Islamic Banking (Cheltenham, UK: Edward Elgar, 2007), hal. 49-63
[47] Keputusan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia tentang Susunan Pengurus DSN-MUI Nomor Kep.. 98/MUI/III/2001
[48] Keputusan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia tentang Susunan Pengurus DSN-MUI Nomor Kep.. 98/MUI/III/2001
[49] Bab I, pasal 1 ayat 13
[50] Lihat fatwa DSN no 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, bagian pertama dan kedua
[51] Lihat fatwa DSN no 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, bagian pertama Ketentuan Umum.
[52] Lihat fatwa DSN no 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, bagian kedua Akad dalam Asuransi
[53] Lihat fatwa DSN no 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, bagian kedua Akad dalam Asuransi
[54] Lihat fatwa DSN no 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, bagian ketiga
[55] Hossein Askari, Zamir Iqbal, dan Abbas Mirakhor, Globalization and Islamic Finance, (Siangapura: John Wiley, 2010) hal. 12 lihat juga dalam Mirakhor, A., General characteristics of an Islamic Economic System, in B. Alhassani and Mirakhor (eds), Essays on Iqtisad (Maryland: Nur Publications, 1989; republished New York: Global Scholarly Publications, 2003). Dan lihat juga Mirahor, A., and Iqbal, Z., Profit-and-Lost Sharing Contract in Islamic Finance, in M.K. Hassan and M.K. Lewis (eds.), Handbook of Islamic Banking (Cheltenham, UK: Edward Elgar, 2007), hal. 49-63

[56] Lihat fatwa DSN no 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
[57] Lihat fatwa DSN no 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
[58] Q.S. an-Nisa (4) 29
[59] Lihat fatwa DSN no 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
[60] Lihat fatwa DSN no 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
[61] Lihat fatwa DSN no 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
[62] Lihat Christoper Napier, Other cultures, other accountings? Islamic accounting from past to present (Kanada: presented at Accounting History International Conference, ke-5, 2007)
[63] Sri Nurhayati, dan Wasilah, Akuntansi Syariah, (Jakarta: Salemba Empat, edisi 2 revisi, 2011), hal.91-117