Minggu, 09 Desember 2012

Asuransi berdasarkan Syariah

ISLAM ADALAH SISTEM UNIVERSAL
Islam adalah suatu sistem yang universal. Hidup secara Islami bukan hanya sempurna dalam hal Aqidah, Akhlaq dan Ibadah saja, tetapi dalam hal Muamalah juga harus secara Islam.
Ketika di Masjid atau setiap mengawali shalat kita selalu berikrar
“Ya Allah, aku berikrar, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku untuk Allah semata” (QS. 6 : 162)
Akan tetapi ketika keluar dari masjid, setelah shalat secara Islami, bank kita secara kapital, kemudian berasuransi secara Itali atau Perancis. Padahal Allah SWT. mengingatkan kita dalam Al Qur’an :
“Apakah kalian beriman kepada sebagian kitab (mengambil sebagian daripada Islam) dan meninggalkan bagian yang lain (dari sistem Islam)” (QS.2:85)
Kita hanya mengambil sistem ibadah saja dalam Al Qur’an tetapi sistem mu’amalah ditinggalkan. Jika cara hidup yang kita anut demikian, Allah SWT. mengingatkan : Illa Hizyun Fil Hayaatiddunya, kehinaan di dunia, Wal yaumal qiyamah yuradduuna ila asyaddil ‘adzab dan dihari kiamat nanti akan disiksa dengan adzab yang sangat pedih; Wamallahu bighofilin amma ta’malun, dan Allah sekali-kali tidak akan lupa.
Kenapa dalam berasuransi harus secara Islam ?
Karena Allah SWT. menyuruh kita untuk menjalankan ajaran Islam secara menyeluruh, tidak secara parsial.
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kedalam Islam secara kaffah (syumuli), dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan ini musuh yang nyata bagi kamu” (QS. Al Baqarah : 208).
ASURANSI DALAM LITERATUR ISLAM
Apakah pernah ada Asuransi dalam sejarah Islam? Kalau kita lihat dalam literatur syari’ah, dalam masyarakat awal Islam, kita mengenal istilah AD DIAT. “Ad-Diah liqotil ghoiri Amd”. Jika seseorang membunuh orang lain secara tidak sengaja, maka harus membayar uang tebusan.
Syekh Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah mendefinisikan DIAT : “Harta benda yang wajib ditunaikan oleh sebab tindakan kejahatan, kemudian diberikan kepada si korban kejahatan atau walinya”. Dalam bahasa Arab dikatakan “Wadaytul Qotiila” artinya : aku telah tunaikan diat si korban.
Syekh Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah mendefinisikan DIAT: “Harta benda yang wajib ditunaikan oleh sebab tindakan kejahatan, kemudian diberikan kepada si korban kejahatan atau walinya”. Dalam bahasa Arab dikatakan “Wadaytul Qotiila: artinya: aku telah tunaikan diat si korban.
DIAT meliputi denda pengganti qishosh dan denda selain qishosh. Dan diat disebut juga dengan nama Al-Aqd (pengikat) karena bilamana seseorang membunuh orang lain, ia harus membayar diat berupa unta-unta.
Peraturan diat ini sudah sejak lama dilakukan oleh orang-orang Arab pada zaman jahiliyah, kemudian ditetapkan oleh Islam sesudahnya.
“Dan tidak layak bagi seorang Mu’min membunuh seorang (yang lain) kecuali karena kesalahan, hendaklah ia memerdekakan budak (seorang hamba sahaya) yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarga (si terbunuh), kecuali jika mereka bersedekah” (QS. An Nisa : 92)
Dr. Mohd. Fadzli Yusuf Direktur Asuransi Takaful Malaysia dalam makalahnya “Toward and Islamic system of Insurance”, mengatakan :
“In fact, the principle of compesantion and group responsibility was accepted by Islam and the Holy Prophet. “Muslim jurist acknowledged that the basis of shared responsibility in system of “aqila” as practiced betwen Muslims of Mecca (Muhajirin) and Madian (Anshor) laid the foundation of mutual insurance”.
(Pada kenyataannya prinsip asuransi dan tanggung jawab kelompok dijamin oleh Islam dan oleh nabi. Ahli hukum Islam mengkalim bahwa dasar dari tanggung jawab kelompok itu terdapat pada sistem “Aqila”. Sebagaimana dipraktekkan antara muslim Makkah (Muhajirin) dengan Madinah (Anshor).
Bantu membantu merupakan salah satu sikap yang nampak diantara sikap-sikap baik lainnya memancar dari “Persaudaraan Islam” Allah SWT. memerintahkan orang-orang untuk saling menolong sebagaimana yang disebutkan dalam Firman-Nya :
“Dan tolong menolonglah dalam (mengerjakan) kebaikan dan Taqwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (QS. Al Maidah: 2)
Rasulullah SAW., juga telah menggambarkan begaimana seharusnya ummat Islam itu berpadu, maka beliau menyebutkan bagaimana suatu bangunan.
Syekh Husni Adham Jarror dalam kitab “Al Ukhuwah, Wal Hubb Fillah” mengatakan bahwa dalam sejarah hidup manusia belum pernah ada suatu masyarakat yang ditegakkan atas dasar ta’awun sebagaimana yang telah terjadi antara kaum Anshor dengan kaum Muhajirin, yaitu dengan prinsip ta’awun yang berdasarkan cinta kasih penuh kemuliaan. Karena kecintaan terhadap saudaranya yang berdasarkan pada iman dan taqwa maka kaun Anshor rela sepenuh hati untuk membantu segala keperluan kaum Muhajirin, sehingga akhirnya mereka bersatu dalam bangunan “masyarakat Islami” pertama di Madinah.
Jadi sejak lama sistem “aqilah” ini sudah ada dalam literatur Islam. Istilah tanggung renteng atau “Social Insurance” sudah ada sejak zaman awal Islam. Persoalannya bagaimana membawa konsep asal ini kedalam bentuk : Operasional Institusional Modern.
BERASURANSI MELAWAN TAKDIR
Dikalangan ummat Islam terkadang masih ada kesalah-pahaman bahwa jika orang ke asuransi seolah-olah menyalahi dan melawan takdir. Pada dasarnya Islam mengakui bahwa kecelakaan, kemalangan dan kamatian itu merupakan qadha dan qadar dari Allah SWT. Hal ini tidak bisa ditolak, hanya saja kita sebagai kaum muslimin diperintahkan Alah SWT :
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (masa depan) dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Hasyr : 18)
Jadi justru diperintahkan Allah membuat persiapan untuk menghadapi takdir. Biasanya untuk meminimasi resiko masa depan, kita menabung atau menyimpan. Akan tetapi terkadang jumlah tabungan ini lebih kecil daripada resiko yang harus diterima. Maka jalan keluarnya adalah ke asuransi. Jadi konsep asuransi tidak bertentangan dengan syari’at, termasuk asuransi jiwa.
Secara bahasa sebetulnya istilah asuransi jiwa tidak tepat, karena seolah-olah jiwa kita yang diasuransikan kepada Allah SWT.
Di Malaysia asuransi jiwa disebut asuransi nyawa, itupun kurang tepat, sebab dapat menimbulkan kesalah-pahaman dalam hubungannya dengan qodlo dan qodar. Bahkan dalam bahasa Arab disebut “Ta’minul Hayah” (mengamankan kehidupan). Jadi yang kita asuransikan bukan kematian kita, bukan jiwa kita, dan bukan nyawa kita. Yang kita asuransikan adalah resiko finansial yang timbul (yang akan diderita oleh anak dan isteri) jika Allah SWT. menakdirkan tulang punggung pencari nafkah di keluarga meninggal dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar