ISLAM ADALAH SISTEM UNIVERSAL
Islam adalah suatu sistem yang universal. Hidup secara Islami bukan
hanya sempurna dalam hal Aqidah, Akhlaq dan Ibadah saja, tetapi dalam
hal Muamalah juga harus secara Islam.
Ketika di Masjid atau setiap mengawali shalat kita selalu berikrar
“Ya Allah, aku berikrar, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku untuk Allah semata” (QS. 6 : 162)
Akan tetapi ketika keluar dari masjid, setelah shalat secara Islami,
bank kita secara kapital, kemudian berasuransi secara Itali atau
Perancis. Padahal Allah SWT. mengingatkan kita dalam Al Qur’an :
“Apakah kalian beriman kepada sebagian kitab (mengambil sebagian
daripada Islam) dan meninggalkan bagian yang lain (dari sistem Islam)”
(QS.2:85)
Kita hanya mengambil sistem ibadah saja dalam Al Qur’an tetapi sistem
mu’amalah ditinggalkan. Jika cara hidup yang kita anut demikian, Allah
SWT. mengingatkan : Illa Hizyun Fil Hayaatiddunya, kehinaan di dunia,
Wal yaumal qiyamah yuradduuna ila asyaddil ‘adzab dan dihari kiamat
nanti akan disiksa dengan adzab yang sangat pedih; Wamallahu bighofilin
amma ta’malun, dan Allah sekali-kali tidak akan lupa.
Kenapa dalam berasuransi harus secara Islam ?
Karena Allah SWT. menyuruh kita untuk menjalankan ajaran Islam secara menyeluruh, tidak secara parsial.
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kedalam Islam secara
kaffah (syumuli), dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syetan.
Sesungguhnya syetan ini musuh yang nyata bagi kamu” (QS. Al Baqarah :
208).
ASURANSI DALAM LITERATUR ISLAM
Apakah pernah ada Asuransi dalam sejarah Islam? Kalau kita lihat
dalam literatur syari’ah, dalam masyarakat awal Islam, kita mengenal
istilah AD DIAT. “Ad-Diah liqotil ghoiri Amd”. Jika seseorang membunuh
orang lain secara tidak sengaja, maka harus membayar uang tebusan.
Syekh Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah mendefinisikan DIAT : “Harta
benda yang wajib ditunaikan oleh sebab tindakan kejahatan, kemudian
diberikan kepada si korban kejahatan atau walinya”. Dalam bahasa Arab
dikatakan “Wadaytul Qotiila” artinya : aku telah tunaikan diat si
korban.
Syekh Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah mendefinisikan DIAT: “Harta
benda yang wajib ditunaikan oleh sebab tindakan kejahatan, kemudian
diberikan kepada si korban kejahatan atau walinya”. Dalam bahasa Arab
dikatakan “Wadaytul Qotiila: artinya: aku telah tunaikan diat si korban.
DIAT meliputi denda pengganti qishosh dan denda selain qishosh. Dan
diat disebut juga dengan nama Al-Aqd (pengikat) karena bilamana
seseorang membunuh orang lain, ia harus membayar diat berupa unta-unta.
Peraturan diat ini sudah sejak lama dilakukan oleh orang-orang Arab
pada zaman jahiliyah, kemudian ditetapkan oleh Islam sesudahnya.
“Dan tidak layak bagi seorang Mu’min membunuh seorang (yang lain)
kecuali karena kesalahan, hendaklah ia memerdekakan budak (seorang hamba
sahaya) yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada
keluarga (si terbunuh), kecuali jika mereka bersedekah” (QS. An Nisa :
92)
Dr. Mohd. Fadzli Yusuf Direktur Asuransi Takaful Malaysia dalam
makalahnya “Toward and Islamic system of Insurance”, mengatakan :
“In fact, the principle of compesantion and group responsibility was
accepted by Islam and the Holy Prophet. “Muslim jurist acknowledged that
the basis of shared responsibility in system of “aqila” as practiced
betwen Muslims of Mecca (Muhajirin) and Madian (Anshor) laid the
foundation of mutual insurance”.
(Pada kenyataannya prinsip asuransi dan tanggung jawab kelompok
dijamin oleh Islam dan oleh nabi. Ahli hukum Islam mengkalim bahwa dasar
dari tanggung jawab kelompok itu terdapat pada sistem “Aqila”.
Sebagaimana dipraktekkan antara muslim Makkah (Muhajirin) dengan Madinah
(Anshor).
Bantu membantu merupakan salah satu sikap yang nampak diantara
sikap-sikap baik lainnya memancar dari “Persaudaraan Islam” Allah SWT.
memerintahkan orang-orang untuk saling menolong sebagaimana yang
disebutkan dalam Firman-Nya :
“Dan tolong menolonglah dalam (mengerjakan) kebaikan dan Taqwa, dan
janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (QS. Al
Maidah: 2)
Rasulullah SAW., juga telah menggambarkan begaimana seharusnya ummat
Islam itu berpadu, maka beliau menyebutkan bagaimana suatu bangunan.
Syekh Husni Adham Jarror dalam kitab “Al Ukhuwah, Wal Hubb Fillah”
mengatakan bahwa dalam sejarah hidup manusia belum pernah ada suatu
masyarakat yang ditegakkan atas dasar ta’awun sebagaimana yang telah
terjadi antara kaum Anshor dengan kaum Muhajirin, yaitu dengan prinsip
ta’awun yang berdasarkan cinta kasih penuh kemuliaan. Karena kecintaan
terhadap saudaranya yang berdasarkan pada iman dan taqwa maka kaun
Anshor rela sepenuh hati untuk membantu segala keperluan kaum Muhajirin,
sehingga akhirnya mereka bersatu dalam bangunan “masyarakat Islami”
pertama di Madinah.
Jadi sejak lama sistem “aqilah” ini sudah ada dalam literatur Islam.
Istilah tanggung renteng atau “Social Insurance” sudah ada sejak zaman
awal Islam. Persoalannya bagaimana membawa konsep asal ini kedalam
bentuk : Operasional Institusional Modern.
BERASURANSI MELAWAN TAKDIR
Dikalangan ummat Islam terkadang masih ada kesalah-pahaman bahwa jika
orang ke asuransi seolah-olah menyalahi dan melawan takdir. Pada
dasarnya Islam mengakui bahwa kecelakaan, kemalangan dan kamatian itu
merupakan qadha dan qadar dari Allah SWT. Hal ini tidak bisa ditolak,
hanya saja kita sebagai kaum muslimin diperintahkan Alah SWT :
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(masa depan) dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Hasyr : 18)
Jadi justru diperintahkan Allah membuat persiapan untuk menghadapi
takdir. Biasanya untuk meminimasi resiko masa depan, kita menabung atau
menyimpan. Akan tetapi terkadang jumlah tabungan ini lebih kecil
daripada resiko yang harus diterima. Maka jalan keluarnya adalah ke
asuransi. Jadi konsep asuransi tidak bertentangan dengan syari’at,
termasuk asuransi jiwa.
Secara bahasa sebetulnya istilah asuransi jiwa tidak tepat, karena seolah-olah jiwa kita yang diasuransikan kepada Allah SWT.
Di Malaysia asuransi jiwa disebut asuransi nyawa, itupun kurang
tepat, sebab dapat menimbulkan kesalah-pahaman dalam hubungannya dengan
qodlo dan qodar. Bahkan dalam bahasa Arab disebut “Ta’minul Hayah”
(mengamankan kehidupan). Jadi yang kita asuransikan bukan kematian kita,
bukan jiwa kita, dan bukan nyawa kita. Yang kita asuransikan adalah
resiko finansial yang timbul (yang akan diderita oleh anak dan isteri)
jika Allah SWT. menakdirkan tulang punggung pencari nafkah di keluarga
meninggal dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar