I. LATAR BELAKANG
Sejak dekade 1960-an, perbincangan mengenai larangan riba bunga bank
semakin memanas saja. Setidaknya ada dua pendapat mendasar yang membahas
masalah tentang riba. Pendapat pertama berasal dari mayoritas ulama
yang mengadopsi dan intrepertasi para fuqaha tentang riba sebagaimana
yang tertuang dalam fiqh. Pendapat lainnya mengatakan, bahwa larangan
riba dipahami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan adanya upaya
eksploitasi, yang secara ekonomis menimbulkan dampak yang sangat
merugikan bagi masyarakat. Kontroversi bunga bank konvensional masih
mewarnai wacana yang hidup di masyarakat. Dikarenakan bunga yang
diberikan oleh bank konvensional merupakan sesuatu yang diharamkan dan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah jelas mengeluarkan fatwa tentang
bunga bank pada tahun 2003 lalu. Namun, wacana ini masih saja membumi
ditelinga kita, dikarenakan beragam argumentasi yang dikemukakan untuk
menghalalkan bunga, bahwa bunga tidak sama dengan riba. Walaupun
Al-Quran dan Hadits sudah sangat jelas bahwa bunga itu riba. Dan riba
hukumnya adalah haram.
Untuk mendudukan kontroversi bunga bank dan riba secara tepat
diperlukan pemahaman yang mendalam baik tentang seluk beluk bunga maupun
dari akibat yang ditimbulkan oleh dibiarkannya berlaku sistim bunga
dalam perekonomian dan dengan membaca tanda-tanda serta arah yang
dimaksud dengan riba dalam Al Qur’an dan Hadist.
Oleh karena itu, saya sebagai penulis mencoba menjelaskan apakah sama
anatar riba dan bunga banak dalam pandangan fiqh muamalah dan ekonomi
Islam. Oleh karena itu, untuk membuktikannya penulis mencoba meneliti
dan memaprkannya dalam esai ini.
II. PERUMUSAN MASALAH
Dengan melihat latar belakang yang telah dikemukakan, maka beberapa
pokok masalah yang dapat penulis rumuskan dan akan dibahas dalam karya
tulis ilmiah ini adalah
1. Bagaimana pengertian riba dan bunga bank?
2. Apakah sama riba dan bunga bank dalam pandangan Fiqh Muamalah dan Ekonomi Islam?
3. Bagaimana hukum riba dan bunga bank menurut pandangan Fiqh Muamalah dan Ekonomi Islam?
4. Serta apakah dampak dari riba (bunga bank) terhadap kehidupan manusia?
III. ANALISIS
A. Pengertian Riba dan Bunga Bank
Menurut The American Heritage DICTIONARY of the English Language : Interest is “A charge for a financial loan, usually a precentage of the amount loaned“. (lihat H. Karnaen A. Perwataatmadja, S.E., MPA).[1]
Bunga adalah sejumlah uang yang dibayar atau untuk penggunaan
modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau
prosentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku
bunga modal.
Asal makna “riba” menurut bahasa Arab ialah lebih (bertambah). Adapun
yang dimaksud disini menurut syara’ riba adalah akad yang terjai dengan
penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut
aturan syara’ atau terlambat menerimanya.[2]
Istilah riba pertama kalinya di ketahui berdasarkan wahyu yang
diturunkan pada masa awal risalah kenabian dimakkah kemungkinan besar
pada tahun IV atau awal hijriah ini berdasarkan pada awal turunya ayat
riba[3].
Para mufassir klasik berpendapat, bahwa makna riba disini adalah
pemberian. Berdasarkan interpretasi ini, menurut Azhari (w. 370H/980 M)
dan Ibnu Mansur (w. 711H/1331M) riba terdiri dari dua bentuk yaitu riba
yang dilarang dan yang tidak dilarang[4]. Namun dalam kenyataannya istilah Riba hanya dipakai untuk memaknai pembebanan hutang atas nilai pokok yang dipinjamkan[5].
Sedangkan dalam istilah al-Jurjani mendefinisikan riba dengan
kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan, yang disyaratkan
bagi salah seorang dari kedua belah pihak yang membuat akad/transaksi[6].
Ada beberapa pendapat diatas dalam menjelaskan riba, namun secara
umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara
bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Mengenai hal ini Allah SWT mengingatkan dalam firmannya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil” (Q.S
An-Nisa : 29). Dalam kaitannya dengan ayat tersebut diatas mengenai
makna al-bathil, Ibnu Al-Arabi Al-Maliki, dalam kitabnya Ahkam Al-Qur’an
(lihat syafii Anotonio), menjelaskan : bahwa pengertian riba secara
bahasa adalah tambahan (Ziyadah), namun yang dimaksud riba dalam ayat
Al-Qur’an yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu
transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah”[7]
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu
transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan
tersebut secara adil. Seperti transaksi jual-beli, gadai, sewa, atau
bagi hasil proyek.
Merujuk dari penjelasan tentang pengertian riba dan bunga diatas, bahwa dapat disimpulkan bunga sama dengan riba.[8]
Mengapa demikian, dikarenakan secara riil operasional di perbankan
konvensional, bunga yang dibayarkan oleh nasabah peminjam kepada pihak
atas pinjaman yang dilakukan jelas merupakan tambahan. Karena nasabah
melakukan transaksi dengan pihak bank berupa pinjam meminjam berupa uang
tunai. Didalam Islam yang namanya konsep pinjam meminjam dikenal dengan
namanya Qardh (Qardhul Hasan) merupakan pinjaman kebajikan. Dimana
Allah SWT, berfirman :
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang
baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat
gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan.”(Q. S Al-Baqarah : 245)
Pinjaman qardh tidak ada tambahan, jadi seberapa besar yang dipinjam
maka dikembalikan sebesar itu juga. Namun, berbeda apabila akad atau
transaksi tersebut mengandung jual beli, sewa maupun bagi hasil.
Jadi, Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional si
pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya
suatu penyeimbang yang diterima si peminjam hal ini merupakan riba yang
telah diharamkan oleh Allah SWT didalam Al-Qur’an dan Hadist sebagai
berikut :
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” Q.S Al-Baqarah : 275 dan juga dalam Hadist Rasulullah bersabda : “Jabir
berkata bahwa Rasulullah mengutuk orang yang menerima riba, orang yang
membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya,
kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama.” (H.R Muslim no. 2995 dalam kitab Al-Musaqqah)[9]
B. Hukum Riba dan Bunga Bank
Seluruh ‘ulama sepakat mengenai keharaman riba, baik yang dipungut
sedikit maupun banyak. Seseorang tidak boleh menguasai harta riba; dan
harta itu harus dikembalikan kepada pemiliknya, jika pemiliknya sudah
diketahui, dan ia hanya berhak atas pokok hartanya saja.
Al-Quran dan Sunnah dengan sharih telah menjelaskan keharaman riba
dalam berbagai bentuknya; dan seberapun banyak ia dipungut. Allah swt
berfirman;
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبا لا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ
الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ
قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى
فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka Berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa
yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang
itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. [QS Al Baqarah (2): 275].[10]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ
مِنَ الرِّبا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا
فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ
رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan
jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu;
kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. [TQS Al Baqarah (2): 279].
Di dalam Sunnah, Nabiyullah Muhammad saw
دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتٍّ وَثَلَاثِيْنَ زِنْيَةً
“Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui
(bahwa itu adalah riba), maka itu lebih berat daripada enam puluh kali
zina”. (HR Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah).
الرِبَا ثَلاثَةٌَ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ
يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ, وَإِنَّ أَرْبَى الرِّبَا عَرْضُ الرَّجُلِ
الْمُسْلِمَ
“Riba itu mempunyai 73 pintu, sedang yang paling ringan seperti
seorang laki-laki yang menzinai ibunya, dan sejahat-jahatnya riba adalah
mengganggu kehormatan seorang muslim”. (HR Ibn Majah).
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّباَ
وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ, وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan
riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Belia bersabda; Mereka semua
sama”. (HR Muslim)
Di dalam Kitab al-Mughniy, Ibnu Qudamah mengatakan, “Riba
diharamkan berdasarkan Kitab, Sunnah, dan Ijma’. Adapun Kitab,
pengharamannya didasarkan pada firman Allah swt,”Wa harrama al-riba”
(dan Allah swt telah mengharamkan riba) (Al-Baqarah:275) dan ayat-ayat
berikutnya. Sedangkan Sunnah; telah diriwayatkan dari Nabi saw
bahwasanya beliau bersabda, “Jauhilah oleh kalian 7 perkara yang
membinasakan”. Para shahabat bertanya, “Apa itu, Ya Rasulullah?”.
Rasulullah saw menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang
diharamkan Allah kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak
yatim, lari dari peperangan, menuduh wanita-wanita Mukmin yang baik-baik
berbuat zina”. Juga didasarkan pada sebuah riwayat, bahwa Nabi saw
telah melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]…Dan umat Islam telah berkonsensus mengenai keharaman riba.”
Imam al-Syiraaziy di dalam Kitab al-Muhadzdzab menyatakan; riba merupakan perkara yang diharamkan. Keharamannya didasarkan pada firman Allah swt, “Wa ahall al-Allahu al-bai` wa harrama al-riba” (Allah swt telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba)[Al-Baqarah:275], dan juga firmanNya, “al-ladziina
ya`kuluuna al-riba laa yaquumuuna illa yaquumu al-ladziy
yatakhabbathuhu al-syaithaan min al-mass” (orang yang memakan riba tidak
bisa berdiri, kecuali seperti berdirinya orang yang kerasukan setan)”. [al-Baqarah:275]…..Ibnu
Mas’ud meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw melaknat
orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya”. [HR. Imam
Bukhari dan Muslim]
Imam al-Shan’aniy di dalam Kitab Subul al-Salaam mengatakan; seluruh umat telah bersepakat atas haramnya riba secara global.
Di dalam Kitab I’aanat al-Thaalibiin disebutkan; riba termasuk dosa besar, bahkan termasuk sebesar-besarnya dosa besar (min akbar al-kabaair).
Pasalnya, Rasulullah saw telah melaknat orang yang memakan riba, wakil,
saksi, dan penulisnya. Selain itu, Allah swt dan RasulNya telah
memaklumkan perang terhadap pelaku riba. Di dalam Kitab al-Nihayah dituturkan bahwasanya dosa riba itu lebih besar dibandingkan dosa zina, mencuri, dan minum khamer. Imam Syarbiniy di dalam Kitab al-Iqna’
juga menyatakan hal yang sama Mohammad bin Ali bin Mohammad
al-Syaukaniy menyatakan; kaum Muslim sepakat bahwa riba termasuk dosa
besar.
Imam Nawawiy di dalam Syarh Shahih Muslim juga menyatakan
bahwa kaum Muslim telah sepakat mengenai keharaman riba jahiliyyah
secara global. Mohammad Ali al-Saayis di dalam Tafsiir Ayat Ahkaam menyatakan, telah terjadi kesepakatan atas keharaman riba di dalam dua jenis ini (riba nasii’ah dan riba fadlal).
Keharaman riba jenis pertama ditetapkan berdasarkan al-Quran; sedangkan
keharaman riba jenis kedua ditetapkan berdasarkan hadits shahih. Abu
Ishaq di dalam Kitab al-Mubadda’ menyatakan; keharaman riba telah menjadi konsensus, berdasarkan al-Quran dan Sunnah.
ulama saat ini sesungguhnya telah ijma’ tentang keharaman bunga bank.
Dalam puluhan kali konferensi, muktamar, simposium dan seminar, para
ahli ekonomi Islam dunia, Chapra menemukan terwujudnya kesepakatan para
ulama tentang bunga bank. Artiya tak satupun para pakar yang ahli
ekonomi yang mengatakan bunga syubhat atau boleh.
Ijma’nya ulama tentang
hukum bunga bank dikemukaka Umer Chapra dalam buku The Future of Islamic Econmic,(
2000). Semua mereka mengecam dan mengharamkan bunga, baik konsumtif
maupun produktif, baik kecil maupun besar, karena bunga telah
menimbulkan dampak sangat buruk bagi perekonomian dunia dan berbagai
negara. Krisis ekonomi dunia yang menyengsarakan banyak negara yang
terjadi sejak tahun 1930 s/d 2000, adalah bukti paling nyata dari dampak
sistem bunga.
C. Dampak Riba Dan Bunga Bank
1. Bagi jiwa manusia
hal ini akan menimbulkan perasaan egois pada diri, sehingga tidak
mengenal melainkan diri sendiri. Riba ini menghilangkan jiwa kasih
sayang, dan rasa kemanusiaan dan sosial. Lebih mementingkan diri sendiri
daripada orang lain
2. Bagi masyarakat
Dalam kehidupan masyarakat hal ini akan menimbulkan kasta kasta yang
saling bermusuhan. Sehingga membuat keadaan tidak aman dan tentram.
Bukannya kasih sayang dan cinta persaudaraan yang timbul akan tetapi
permusuhan dan pertengkaran yang akan tercipta dimasyarakat
3. Bagi roda pergerakan ekonomi
Dampak sistem ekonomi ribawi tersebut sangat membahayakan perekonomian.
a) Sistem ekonomi ribawi telah banyak menimbulkan krisis ekonomi
di mana-mana sepanjang sejarah, sejak tahun 1929, 1930, 1940an, 1950an,
1970an. 1980an, 1990an, 1997 dan sampai saat ini.
b) di bawah sistem ekonomi ribawi, kesenjangan pertumbuhan
ekonomi masyarakat dunia makin terjadi secara konstant, sehingga yang
kaya makin kaya yang miskin makin miskin.
c) Suku bunga juga berpengaruh terhadap investasi, produksi dan terciptanya pengangguran.
d) Teori ekonomi juga mengajarkan bahwa suku bunga akan secara signifikan menimbulkan inflasi.
e) Sistem ekonomi ribawi juga telah menjerumuskan negara-negara berkembang kepada debt trap (jebakan hutang) yang dalam, sehingga untuk membayar bunga saja mereka kesulitan, apalagi bersama pokoknya.[16]
IV. KESIMPULAN
Sudah jelaslah bagiamana riba itu dilarang dengan tahapan tahapan
yang sama dengan pengharaman arak. Dari uraian diatas dapat penulis
ambil kesimpulan bahwa:
1) Riba dengan kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada
ganti/imbalan, yang disyaratkan bagi salah seorang dari kedua belah
pihak yang membuat akad/transaksi sedangkan Bunga adalah sejumlah uang
yang dibayar atau untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya
dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang bersangkut
paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal.
2) Dalam pandangan Fiqh Muamalah dan Ekonomi Islam bahwa antara
riba dan bunga bank adalah sama. Mengapa demikian, dikarenakan secara
riil operasional di perbankan konvensional, bunga yang dibayarkan oleh
nasabah peminjam kepada pihak atas pinjaman yang dilakukan jelas
merupakan tambahan. Karena nasabah melakukan transaksi dengan pihak bank
berupa pinjam meminjam berupa uang tunai.
3) Dalam pandangan Fiqh Muamalah dan Ekonomi Islam bahwa hukum
antara riba dan bunga bank adalah haram. Karena hukum asal riba adalah
haram baik itu dalam Al-Qur’an, Hadis, dan Ijtihad. Seluruh ummat Islam
wajib untuk meninggalkannya, serta menjauhinya yakni dengan cara
bertaqwa kepada Allah.
4) Dampak akan bahayanya riba (bunga bank) terhadap kehidupan
manusia; (1). Bagi jiwa manusia : hal ini akan menimbulkan perasaan
egois pada diri, sehingga tidak mengenal melainkan diri sendiri.
(2).Bagi masyarakat : Dalam kehidupan masyarakat hal ini akan
menimbulkan kasta kasta yang saling bermusuhan. (3). Bagi roda
pergerakan ekonomi : Dari segi ekonomi, hal ini akan menyebabkan manusia
dalam dua golongan besar yaitu orang miskin sebagai pihak yang
tertindas dan orang kaya sebagai pihak yang menindas.
1. Abdullah saeed, Bank Islam Dan Bunga, terj Cet 1. Pustaka pelajar. Jakarta 2003
2. Departemen Agama RI.. Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung. CV. Diponegoro. 2003
3. KH. Didin Hafidhuddin, Tafsir al-Hijri, det 1. Yayasan Kalimah Thayyibah. Jakarta 2000.
4. Drs. H. Kahar Masyhur. Beberapa Pendapat Menegenai Riba. Cet 3, Kalam Mulia Jakarta 1999
5. Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi, Masail Fiqhiyah. Cet 10, PT gunung agung. Jakarta, 1970
6. Mudjab mahali. Asbabun Nuzul; Studi Pendalaman al-Qur’an Surat al-Baqarah-An Naas. Cet 1, Raja grafindo. Jakarta, 2002
7. Muhammad Ali Ash-ashabuni, Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, terj. Cet ke-4, PT. Bina ilmu. Surabaya, 2003
8. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar